Editor Indonesia, Jakarta – Penurunan partisipasi generasi muda dalam kegiatan masjid menjadi fenomena keagamaan yang memprihatinkan. Dari kegelisahan itulah, Enggal Nur Wahyudi, lulusan STID Mohammad Natsir angkatan XV tahun 2025, meneliti secara mendalam strategi komunikasi dakwah yang dilakukan Masjid Better Youth Surabaya. Ulasannya bisa disimak dalam tulisan berikut:
Fenomena masjid yang semakin sepi dari kehadiran anak muda menjadi latar penting penelitian ini. Banyak pemuda lebih memilih nongkrong di kafe atau ruang publik lain dibanding hadir di masjid untuk mengikuti kajian, diskusi, atau kegiatan sosial. Padahal, secara historis, masjid bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga pusat pembinaan umat dan peradaban. Dari sinilah muncul pertanyaan mendasar: bagaimana strategi komunikasi dakwah yang tepat agar masjid kembali mampu merangkul generasi muda dan menjadikannya ruang yang hidup serta relevan dengan kebutuhan mereka?
Sejak awal berdirinya, masjid sejatinya bukan hanya tempat salat semata. Ia hadir sebagai pusat kegiatan umat Islam: dakwah, pendidikan, hingga aktivitas sosial. Namun, seiring perkembangan zaman, fungsi masjid kerap meredup. Dakwah yang disampaikan sering dianggap kurang relevan, terutama bagi generasi muda yang justru lebih akrab dengan kafe atau ruang-ruang nongkrong modern.
Tokoh Islam Mohammad Natsir pernah menekankan bahwa dalam mewujudkan masyarakat yang beriman dan bertakwa, ada tiga pilar utama yang tidak bisa dipisahkan: masjid, kampus, dan pesantren. Masjid, menurutnya, adalah ruang pembinaan jiwa seluruh elemen masyarakat—dari intelektual, orang kaya, hingga anak muda.
Masjid dan Problem Generasi Muda
Sayangnya, realitas hari ini menunjukkan fenomena sebaliknya. Banyak masjid justru sepi dari kehadiran pemuda. Kajian lebih sering dipenuhi jamaah berusia lanjut, sementara anak-anak muda lebih nyaman berkumpul di kafe.
Sebuah survei Dewan Masjid Indonesia (DMI) bersama Merial Institute tahun 2018 mencatat rendahnya partisipasi generasi milenial dalam memakmurkan masjid. Dari 888 responden berusia 16–30 tahun di 12 kota besar Indonesia, 66,4 persen mengaku tidak rutin datang ke masjid. Hanya 33,6 persen yang menyatakan selalu mengikuti kegiatan masjid.
Mengapa begitu? Menurut pengamat dakwah, Fathurahman Kamal, banyak pengurus masjid kurang memahami fungsi masjid sebagai pusat peradaban. Masjid sering kali hanya dilihat sebatas tempat ritual. Padahal, desain futuristik, program kreatif, hingga fasilitas yang ramah anak muda bisa membuat masjid lebih hidup. Bahkan, ia menilai kehadiran kafe di lingkungan masjid dapat menjadi magnet baru, tempat pemuda berdiskusi, belajar, sekaligus beristirahat.
Better Youth Surabaya: Masjid Bergaya Kafe
Contoh nyata hadir dari Surabaya. Masjid Better Youth, berdiri di kawasan Rungkut, tampil berbeda. Dari luar, desainnya menyerupai kafe modern—sebuah pendekatan segar yang langsung menyasar selera anak muda.
Masjid ini berawal dari sebuah yayasan bernama Better Youth Foundation yang didirikan tahun 2018 oleh tiga orang, salah satunya Aditya Abdurrahman, dosen Desain Komunikasi Visual UPN Veteran Jatim. Baru pada 2023, yayasan tersebut mendirikan masjid di Jl. Penjaringan Sari PS II No. D-25, Surabaya.
Fasilitasnya jelas ramah generasi muda: mini kafe, perpustakaan, dan ruang diskusi yang dinamai Better Youth Space. Di sana, mahasiswa, komunitas, hingga pengemudi ojek online bisa bertemu, berbincang, dan berbagi gagasan.
Programnya pun beragam. Ada ekspedisi kebaikan berupa distribusi beras untuk anak yatim setiap bulan, kajian khusus pemuda setiap malam Sabtu, hingga ekstrakurikuler panahan yang populer dengan nama Archery for Youth. Semua kegiatan ini menempatkan pemuda sebagai aktor utama, bukan sekadar penonton.
Strategi Dakwah yang Tepat Sasaran
Keberhasilan Better Youth tidak lepas dari strategi dakwah yang disusun dengan cermat. Sebelum menyusun program, pengurus melakukan survei dan musyawarah internal. Hasilnya, audiens dibagi ke dalam dua segmen:
1. Pemuda yang sudah dekat dengan masjid dan rajin beribadah.
2. Pemuda yang masih jauh dari kehidupan keislaman.
Segmentasi ini membantu menentukan konten dakwah yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing kelompok. Bagi yang sudah baik, materi diarahkan pada penguatan iman dan pengembangan diri. Sementara untuk pemuda yang masih jauh, pendekatannya lebih ringan, kreatif, dan tidak menggurui.
Masjid Masa Depan: Ramah, Kreatif, dan Relevan
Kehadiran Masjid Better Youth menunjukkan bahwa masjid bisa tetap relevan di tengah perubahan zaman. Dengan memahami kebutuhan generasi muda, masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga ruang tumbuh bagi jiwa, intelektual, dan kreativitas.
Jika lebih banyak masjid bertransformasi seperti ini, bukan mustahil masjid akan kembali menjadi pusat peradaban—ramai, hidup, dan penuh energi anak muda. (RO)