Editor Indonesia, Bogor – Nama Megamendung di Kabupaten Bogor, Jawa Barat sudah lama identik dengan kawasan wisata sejuk di jalur Puncak. Namun, di balik rindangnya pepohonan dan derasnya arus wisatawan, tersimpan kisah panjang tentang bagaimana wilayah ini bertransformasi—dari arena konflik agraria menjadi destinasi ekowisata berkelanjutan.
Dari Konflik Lahan ke Investasi Hijau
Camat Megamendung Ridwan menuturkan, pesona wilayahnya bukanlah hasil kreasi instan.
“Destinasi wisata di Kecamatan Megamendung bukan dibuat, tetapi terbentuk secara alami sejak dahulu. Baru belakangan ini semakin ramai karena adanya langkah pemerintah dan masuknya investor,” ujarnya kepada wartawan, akhir pekan lalu.
Ridwan, yang merupakan putra daerah, masih mengingat jelas situasi pasca-Reformasi 1998 ketika terjadi penyerobotan lahan negara oleh berbagai pihak. “Dampaknya ada dua. Pertama, penggundulan kebun teh dan hutan yang dikuasai PTPN. Kedua, muncul sengketa lahan, padahal tanah itu milik negara. Dua persoalan ini berlangsung cukup lama,” kenangnya.
Kondisi itu sempat membuat pemerintah daerah kewalahan. Lahan negara rusak, konflik agraria tak kunjung selesai, sementara ekonomi warga stagnan. Namun, dua dekade kemudian wajah Megamendung mulai berubah.
“Sejak saya menjabat camat pada 2023, tidak ada lagi laporan persengketaan tanah. Ini dampak positif dari masuknya investasi,” kata Ridwan.
Beberapa investor besar mulai hadir, seperti Eiger Adventure Land (EAL) dan Gym Station Indonesia (GSI). Menurutnya, kehadiran investor membawa empat manfaat utama, yakni; Tanah negara yang sempat diserobot kembali ke negara, Kawasan gundul direboisasi, Investor berkontribusi kepada negara, dan Warga memperoleh lapangan pekerjaan.
“Yang paling penting, mereka peduli terhadap lingkungan. Contohnya, Sungai Cisuka di wilayah ini tidak pernah banjir meski ada pembangunan,” ungkapnya.
Ridwan menilai pola investasi semacam ini sejalan dengan kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang menekankan hilirisasi dan penyerapan tenaga kerja.
“Hilirisasi investasi di sini salah satunya melalui sektor ketenagakerjaan. Itu membantu mengurangi pengangguran,” tambahnya.
Akademisi: Kunci Ekowisata Ada pada Sinergi dan Tata Kelola
Dari perspektif akademik, M. Yogie Syahbandar, pakar Perencanaan Wilayah dan Kota dari Universitas Pakuan (Unpak), menilai Kabupaten Bogor memiliki potensi besar dalam mengembangkan ekowisata berbasis masyarakat.
“Bogor memiliki potensi wisata alam yang sangat beragam—mulai dari pegunungan, pertanian, gua, hingga hutan. Karakteristik pedesaannya yang kuat menjadikannya ideal untuk wisata berbasis pemberdayaan masyarakat lokal,” jelasnya.
Namun, Yogie menegaskan, pengembangan ekowisata tidak bisa dilakukan secara serampangan. “Harus diperhatikan aspek sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, serta tata kelola kelembagaan dan infrastruktur. Termasuk promosi dan pembentukan kelompok ekowisata sebagai penggerak lokal,” ujar Ketua Korwil ASPI Jabodetabek ini.
Menurutnya, keterlibatan korporasi seperti Eiger justru bisa mempercepat proses pengembangan ekowisata. “Dalam konsep triple helix, harus ada sinergi antara masyarakat, pemerintah, dan pengusaha. Korporasi bisa berperan dalam inkubasi, percepatan, maupun pelaksanaan program ekowisata. Yang penting, koridor sosial, ekonomi, dan lingkungan tetap dijaga,” terang Yogie.
Ia menambahkan, brand besar yang memiliki kepedulian terhadap alam bisa menjadi pengungkit pembangunan berkelanjutan. “Biasanya, perusahaan yang peduli terhadap lingkungan akan menjalankan usaha yang sejalan dengan prinsip konservasi. Namun tetap harus diawasi agar tidak menyalahi tujuan pelestarian,” pungkasnya.
Harapan Warga Megamendung
Kini, Megamendung mulai dikenal bukan sekadar tempat singgah menuju Puncak, tetapi sebagai kawasan ekowisata. Namun, di tengah geliat pembangunan, ada pula kekhawatiran dari warga akibat gelombang PHK menyusul penutupan sementara beberapa lokasi wisata.
Salah satunya Atang (70), warga Sukagalih, yang sejak 2019 bekerja sebagai gardener di kawasan ekowisata EAL. Ia menjadi saksi perubahan lahan tandus menjadi hijau kembali.
“Saya diajari cara menanam dan merawat tanaman yang cocok di sini. Kami diajarkan pentingnya menjaga alam. Pohon yang saya tanam tiga tahun lalu sekarang sudah besar. Tapi tempat kerja saya disegel, penghasilan saya terganggu,” ujarnya lirih.
Atang dan dua anaknya yang juga bekerja di EAL berharap pemerintah meninjau kembali kebijakan penutupan dengan bijaksana. “Lihatlah dengan mata hati. Pembangunan ekowisata di kampung kami membawa kebahagiaan bagi banyak warga Megamendung,” tutupnya penuh harap.
DPR Gerindra Kritik Menteri KLH
Anggota DPR RI dari Fraksi Gerindra, Mulyadi, mengkritik keras langkah Menteri Hanif yang dianggap gegabah dalam menyegel tempat wisata di Puncak.
“Saya menentang keras jika keputusan itu diambil tanpa dasar, tanpa kajian, dan sewenang-wenang,” tegas Mulyadi, Sabtu (4/10/2025).
Menurut Mulyadi, Menteri Hanif harus memahami kondisi sosial ekonomi masyarakat Bogor Selatan yang bergantung pada sektor pariwisata.
“Warga Puncak tidak seperti di Kalimantan yang hidup dari tambang. Mereka menggantungkan hidup di sektor wisata. Jadi jangan membunuh mata pencaharian rakyat kecil,” katanya.
Mulyadi menegaskan bahwa sebelum mengambil kebijakan, pemerintah harus mempertimbangkan hajat hidup masyarakat serta mendukung program Asta Cipta Presiden Prabowo, salah satunya tentang penciptaan lapangan kerja.
“Sektor wisata berbasis alam justru memberikan banyak manfaat ekonomi, dari pendapatan daerah hingga penguatan UMKM lokal,” jelasnya. (Did).
Baca Juga: Ribuan Pekerja di Puncak Terancam PHK, Minta Presiden Prabowo Turun Tangan