Iklan SMPB
Nusantara

Menembus Sunyi Dusun Nunusan: Kisah Ustaz Awi di Pedalaman Talang Mamak

×

Menembus Sunyi Dusun Nunusan: Kisah Ustaz Awi di Pedalaman Talang Mamak

Sebarkan artikel ini
Menembus Sunyi Dusun Nunusan: Kisah Ustaz Awi di Pedalaman Talang Mamak
Ustaz Awi bersama anak didiknya di Dusun Nunusan, Talang Mamak, pedalaman Riau/dok.Editor Indonesia/HO
Menembus Sunyi Dusun Nunusan: Kisah Ustaz Awi di Pedalaman Talang Mamak

Peluh di wajahnya belum kering ketika langkahnya harus menanjak lagi. Di tengah hutan Riau, Ustaz Awi Andrizal menembus sunyi Dusun Nunusan, tempat suku Talang Mamak bertahan hidup tanpa listrik, sinyal, dan akses pendidikan layak.

Editor Indonesia, Riau – Peluh membanjiri wajahnya. Nafasnya mulai tersengal. Langkah kakinya semakin berat menapaki tanah licin dan menanjak.

“Apakah pohon petai sudah dekat?” tanya Ustaz Awi dengan napas terengah.

“Ini baru permulaan, Bang. Kita masih harus melewati tiga bukit lagi,” jawab seorang warga di depannya.

Ustaz muda itu terdiam. Antara terkejut dan takjub. Sementara tubuhnya mulai melemah, warga yang berjalan di depannya tampak begitu ringan menapaki jalur curam itu. Wajah mereka tenang tanpa gurat lelah sedikit pun, seolah stamina mereka tak pernah habis.

Hari itu, Ustaz Awi memutuskan ikut warga mencari hasil hutan—salah satunya petai—di kawasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT). Dalam pikirannya, perjalanan itu hanya akan seperti pendakian biasa. Tapi kenyataannya jauh lebih berat dari dugaan.

Ritme langkah warga begitu cepat dan stabil. Mereka menanjak dan menuruni lereng curam tanpa ragu, seolah medan berat itu hanyalah jalan di depan rumah. Sementara Ustaz Awi berjuang keras menjaga keseimbangan di antara bebatuan licin dan akar-akar besar yang melintang.

Suku Talang Mamak, penghuni pedalaman Riau ini, hidup secara tradisional di sepanjang aliran Sungai Indragiri dan kawasan TNBT. Tanpa listrik, pencahayaan, maupun jaringan telekomunikasi, mereka menggantungkan hidup pada hasil hutan: damar, getah pohon besar, hingga petai.

Di tengah masyarakat pedalaman inilah, dai muda Dewan Dakwah, Ustaz Awi Andrizal, memulai pengabdiannya. Tepatnya di Dusun Nunusan, Desa Rantau Langsat, Kecamatan Batang Gansal, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau.

Perjalanan panjang itu bukan sekadar menembus hutan dan sungai, tetapi juga keterasingan yang telah lama menyelimuti dusun di pedalaman Riau tersebut. Di sanalah, di antara pepohonan raksasa dan suara alam yang nyaris tanpa jeda, Ustaz Awi memulai misi dakwahnya. Ia datang bukan hanya untuk mengajar agama, tetapi juga menyalakan harapan bagi masyarakat Talang Mamak yang hidup jauh dari hiruk pikuk dunia modern.

Perjalanan Ekstrem ke Dusun Nunusan, Desa yang Tak Terdata di Maps

Entah sudah berapa kali rombongan harus turun dari perahu kayu saat menyusuri Sungai Batang Gansal. “Perjalanan menuju lokasi dakwah sangat ekstrem karena melewati banyak batu besar serta sungai yang deras. Beberapa kali kami turun agar perahu lebih ringan saat melewati arus jeram,” tutur Ustaz Awi, awal November 2025.

Setelah perjalanan darat panjang dari Kota Rengat, perjalanan air ditempuh beberapa jam lamanya. Dusun Nunusan terpisah jauh dari desa induknya dan hanya bisa dijangkau melalui sungai. Lama perjalanan bervariasi antara dua hingga lima jam tergantung tinggi permukaan air.

Medan sulit membuat daerah ini tanpa listrik dan sinyal. Aktivitas mandi, mencuci, bersuci, hingga buang hajat dilakukan di tepian sungai. Begitu malam datang, Dusun Nunusan seolah menjadi dusun mati—gelap, sunyi, dan terisolasi.

Sekitar empat tahun lalu, dakwah terakhir hanya sampai di dusun ini. Setelah itu, masyarakat Talang Mamak yang telah memeluk Islam hanya mendengar khutbah Jumat dari musala kecil mereka. Karena itu, kabar kedatangan dai baru seperti cahaya yang dinanti.

“Mereka sangat antusias. Bahkan seminggu sebelum saya datang, sudah banyak yang bertanya apakah saya benar-benar jadi datang,” ujar dai asal Aceh itu. Banyak warga menawarkan rumah untuk ia tinggali selama berdakwah.

Menembus Sunyi Dusun Nunusan: Kisah Ustaz Awi di Pedalaman Talang Mamak
Dengan keterbatasan, ustaz Awi tetap berusaha membimbing belajar mengaji di musaha sederhana Dusun Nunusan, Talang Mamak, Riau/dok.Editor Indonesia/HO

Dari Musala Kecil, Dakwah Kembali Menyala

Tidak mudah mengajak masyarakat pedalaman untuk rutin mengikuti kajian. Sejak pagi hingga petang, mereka menggantungkan hidup dari hasil hutan.

“Kadang mereka tidak bisa membeli beras karena tak mendapat hasil dari hutan,” kata Ustaz Awi.

Karena itu, ia sering ikut menyusuri hutan bersama warga, sekaligus membangun kedekatan dalam keseharian. Dakwahnya dipusatkan di Musala Nurul Huda dan dari rumah ke rumah.

Di sela aktivitas dakwah, Ustaz Awi juga mengajar anak-anak Talang Mamak di sekolah filial sederhana yang berdiri di dusun itu. Meskipun fasilitas sangat terbatas, semangat belajar anak-anak pedalaman begitu besar.

Mereka berjalan kaki lebih dari satu jam menuju sekolah tanpa sepatu, hanya untuk belajar membaca dan menulis. Seusai sekolah, sebagian kembali ke hutan membantu orang tua mencari damar.

Belajar Mengaji di Temaram Malam

Usai seharian di hutan, anak-anak Talang Mamak tetap hadir di musala selepas Magrib. Diterangi lampu LED kecil atau lampu darurat portabel, mereka mengeja huruf demi huruf di papan tulis kapur.

Sejak kehadiran Ustaz Awi, Dusun Nunusan yang tadinya sunyi perlahan hidup. Suara doa dan lantunan ayat suci menggema dari musala kecil di tengah hutan.

Menjadi dai di pedalaman menuntut lebih dari sekadar memberi ceramah. Ia harus hadir di tengah masyarakat—ikut menanam, memperbaiki jalan, membantu panen jengkol dan petai, hingga menjadi tukang cukur bagi anak-anak dan pria dewasa di dusun itu.

Satu per satu ia cukur dengan telaten, di bawah cahaya temaram lampu darurat. Dari musala kecil di tengah hutan, dakwah kembali menyala—menerangi Dusun Nunusan, menyalakan harapan di hati suku Talang Mamak.

Baca Juga: Dewan Dakwah Lepas 225 Dai Muda ke Daerah 3T, Terbanyak Sepanjang Sejarah