Opini

Mengapa Membaca menjadi Tintanya Menulis

×

Mengapa Membaca menjadi Tintanya Menulis

Sebarkan artikel ini
Mengapa Membaca menjadi Tintanya Menulis
Pelajar tengah membaca/dok.isti

Oleh: Muhammad Zufar*

Judul di atas bukanlah kata-kata yang berlebihan, musabab sudah menjadi sebuah hal umum apabila seseorang ingin mahir dalam hal menulis, maka patut baginya untuk memperkaya tulisannya dengan membaca, guna memperkaya kosakata di dalamnya.

Dalam hal membaca, negara kita Indonesia menduduki peringkat yang rendah untuk hal minat membaca. Sebagaimana data yang dikeluarkan oleh Unesco bahwa hanya 0,001 % orang Indonesia dari 282 jiwa juta penduduknya yang memiliki minat membaca. Artinya hanya 1 orang diantara 1.000 orang yang memilika minat membaca.

Namun, ada kabar baik dalam hal gemar membaca, dimana Indonesia mendapatkan peningkatan dalam sisi ini. Pada tahun 2022, Perpustakaan Nasional (PerpusNas) memberikan hasil penelitian bahwa tingkat skor gemar membaca di Indonesia mendapatkan nilai 63,9 poin. Skor tersebut mendapatkan peningkatan sebesar 7,3 % dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya mendapat nilai 59,52 poin.

Membaca dan menulis merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan. Sebab dengan membaca engkau akan mengenal dunia, dan ketika engkau menulis maka engkau akan dikenal dunia. Salah satunya ialah Mohammad Natsir, seorang yang dikenal sebagai negarawan dan ulama yang tersohor dengan buku-bukunya yang fenomenal, seperti fiqhud dakwah dan capita selecta. Sebelum ia dikenal dunia dengan tulisannya, ia sudah mengenal dunia dengan banyak membaca buku. Dikisahkan bahwa ketika beliau sedang menjalani pendidikan di Algemeene Middelbare School (AMS) atau setingkat SMA, ia diwajibkan sudah membaca minimal 30 buku ketika hendak melaksanakan ujian. Hasilnya, berpuluh tahun kemudian beliau menjadi penulis dan pemikir yang ulung.

Begitu juga ulama ulama pada zaman dahulu, mereka rela menghabiskan waktu berjam-jam untuk membaca dan menelaah ribuan buku, kemudian mereka menorehkan hasil bacaan mereka di dalam tulisan yang hidup sampai sekarang. Seperti halnya Imam Syafi’i dengan kitab Al-Umm nya kemudian Imam Malik dengan Al Muwattha nya, dan masih banyak ulama yang kita kenal dengan tulisannya, namun kita tidak mengenal bentuk fisiknya.

Menulis adalah bentuk warisan terhebat dari seseorang, karena dengan menulis akan menjadikan seseorang selalu hidup meskipun raganya sudah wafat, namun pemikirannya akan selalu hidup dan terus ditularkan kepada para pembacanya. Kita kenal dengan Karl max yang dikenal sebagai pencetus ideologi komunisme, yang kemudian mempengaruhi hitler. Bahkan pemikiran komunisme ini menjadi ideologi negara. Inilah salah satu hasil dari menulis yaitu karyanya akan selalu hidup sepanjang masa.

Bisa dikatakan membaca adalah tintanya menulis. Karena tulisan adalah hasil dari bacaan seseorang. Yang menjadi sebuah ironi adalah bahwa bangsa Indonesia sekarang ini masih kurang dalam hal membaca. Yang lebih menyakitkan lagi bahwa masih banyaknya anak yang belum bisa membaca. Bahkan di beberapa wilayah masih banyak anak SMP yang belum bisa membaca.

Ini menunjukkan bahwa pemerataan pendidikan di Indonesia masih belum merata. Kita berharap Indonesia menjadi generasi yang mencintai literasi agar terwujudnya Indonesia emas 2045.

Salam literasi, salam lestari.

*)Mahasiswa semester VII, STID Mohammad Natsir, Jakarta.