Editor Indonesia, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan larangan bagi pimpinan organisasi advokat untuk merangkap jabatan sebagai pejabat negara, seperti menteri maupun wakil menteri. Putusan ini disampaikan dalam sidang pengujian Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, pada Rabu, 30 Juli 2025.
Larangan ini bertujuan menjaga independensi organisasi advokat dan mencegah intervensi kekuasaan dalam fungsi organisasi profesi hukum tersebut.
MK Tegaskan Pentingnya Batasan Jabatan
Hakim Konstitusi Arsul Sani menjelaskan bahwa sebagai penegak hukum, advokat harus berada dalam posisi yang setara dengan penegak hukum lainnya. Oleh karena itu, pengaturan tegas tentang larangan rangkap jabatan perlu diatur dalam undang-undang agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan.
“Pembatasan jabatan pimpinan organisasi advokat dengan jabatan negara penting untuk menjamin kepastian hukum dan menghindari konflik kepentingan,” ujar Arsul di ruang sidang MK.
MK menilai bahwa advokat yang menjalankan tugas sebagai pejabat negara otomatis kehilangan dasar hukum untuk tetap menjadi pimpinan organisasi advokat. Hal ini sekaligus memberikan kepastian bahwa organisasi advokat harus tetap netral dan profesional.
Benturan Kepentingan Jadi Pertimbangan Utama
Mahkamah menegaskan, pejabat negara yang menjabat sebagai pimpinan organisasi advokat harus nonaktif, guna menghindari potensi konflik kepentingan (conflict of interest). Hal ini berlaku terutama bagi mereka yang ditunjuk sebagai menteri atau wakil menteri oleh Presiden.
MK juga menyebut bahwa advokat yang menjadi pejabat negara tidak boleh menjalankan praktik advokat selama masa jabatan mereka.
Latar Belakang Gugatan: Otto Hasibuan Jadi Sorotan
Putusan MK ini bermula dari permohonan uji materi yang diajukan oleh Advokat Andri Darmawan. Ia menggugat karena Pasal 28 ayat (3) UU Advokat tidak secara tegas melarang rangkap jabatan antara pimpinan organisasi advokat dan pejabat negara.
Andri menyoroti kasus Prof. Dr. Otto Hasibuan, SH, MH, Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), yang pada Oktober 2024 diangkat menjadi Wakil Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan. Namun hingga kini, Otto masih menjabat sebagai Ketua Umum Peradi.
Menurut Andri, hal tersebut menimbulkan konflik kepentingan dan menunjukkan dominasi kelompok tertentu dalam organisasi advokat. Ia juga menilai bahwa rekomendasi Otto dalam Rakernas Peradi 2024 yang meminta Mahkamah Agung hanya menyumpah advokat dari Peradi, menunjukkan adanya intervensi jabatan.
“Rekomendasi Ketua Umum Peradi itu sulit dipisahkan dari kapasitas beliau sebagai Wakil Menteri. Ini jelas menimbulkan konflik kepentingan,” ujar Andri.
MK menegaskan bahwa putusan ini bersifat menjaga keadilan dan kesetaraan antarorganisasi advokat yang selama ini menjalankan peran serupa di Indonesia. Larangan rangkap jabatan menjadi langkah penting untuk menjamin kebebasan, objektivitas, dan kemandirian organisasi advokat dalam menjalankan tugasnya. (Har)