Politik

Nadiem Makarim vs Tom Lembong: Siapa yang Sukses Mencuri Perhatian Publik?

×

Nadiem Makarim vs Tom Lembong: Siapa yang Sukses Mencuri Perhatian Publik?

Sebarkan artikel ini
Hakim Tolak Praperadilan, Nadiem Makarim Resmi Tersangka Korupsi Laptop Rp1,98 Triliun
Nadiem Makarim (kiri) dan Tom Lembong (kanan)/dok.Editor Indonesia
Nadiem Makarim dan Tom Lembong: Siapa yang Sukses Mencuri Perhatian Publik?

Editor Indonesia, Jakarta – Di dunia politik dan kekuasaan, seorang pemimpin bukan hanya ditakar dari kecerdasan dan rekam jejaknya, tetapi juga dari kemampuannya menumbuhkan ikatan emosional dengan publik. Di sinilah nasib Nadiem Makarim dan Tom Lembong berpisah jalan. Dua figur elitis dengan latar belakang keluarga terpandang, tetapi hasil yang mereka tuai berbeda jauh.

Kesalahan utama Nadiem, sebagaimana dipotret banyak pengamat, bukan pada kapabilitas intelektualnya, melainkan pada relasi sosialnya. Ia lahir dari keluarga Arab elite, kaum intelektual sejak zaman Belanda—pintar, berpendidikan tinggi, dan terhormat. Namun, semua kelebihan itu tidak cukup membuatnya membumi. Akibatnya, di saat ia menghadapi tekanan publik, ia sendirian. Tak ada yang berdiri membela, kecuali pengacaranya.

Bahkan kelompok yang semestinya punya ikatan emosional dengannya, para pengemudi ojek online yang dulu dielu-elukan sebagai simbol kesuksesan Gojek, tidak tampak memberikan solidaritas. “Nadiem itu mungkin tidak korup, tapi ia gagal menumbuhkan emosi publik yang terikat dengannya,” ujar Geisz Chalifah, pengamat sosial politik, dalam komentarnya di grup WhatsApp.

Menurutnya, di republik ini orang bisa saja salah, asal ada yang membela. Namun, ketika seorang tokoh tak punya ‘teman emosional’, maka runtuhlah sendi-sendi pertahanan politiknya.

Kontras dengan perjalanan Nadiem, sosok Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong mengambil jalan berbeda. Sama-sama elitis, sama-sama berlatar belakang keluarga kaya dan terhormat, Tom memilih tidak hanyut dalam arus besar kekuasaan Jokowi. Saat masih menjabat menteri, ia justru pelan-pelan membangun komunikasi dengan kalangan pergerakan. Diam-diam, ia ikut membantu Anies Baswedan di Pilkada DKI—sebuah langkah yang kelak membuka jalan baginya untuk lebih diterima di lingkaran aktivis.

Padahal, secara personal, Tom bukan tipe orang yang luwes. Bahasa tubuhnya kaku, sulit berbaur dalam gaya egaliter, dan sering kali canggung memahami humor sehari-hari. Tetapi, di balik keterbatasannya itu, Tom berusaha menyelami dan mempersempit jarak dengan para relawan. Ia hadir, mendengarkan, meskipun tak selalu pandai merespons dengan spontan.

Puncak transformasinya terjadi pada Pilpres 2024. Dari teknokrat berjas rapi, Tom bermetamorfosis menjadi sosok sederhana: mengenakan polo shirt, duduk mendengarkan curahan hati emak-emak, berdiskusi dengan anak muda, hingga menyentuh mereka yang jauh dari lingkar kehidupannya. Dari situ ia berhasil menumbuhkan simpati publik, sebuah energi yang akhirnya melahirkan pembelaan ketika posisinya terdesak.

Geisz Chalifah menegaskan, “Tom mungkin tidak sepandai Nadiem dalam teknologi, tapi ia belajar membangun koneksi emosi. Itu yang membuat orang rela membela.”

Dan di ujung refleksinya, Geisz memberi catatan yang menusuk: “Di negeri ini, kesalahan bisa dimaafkan, korupsi bisa ditutup-tutupi, bahkan kekalahan bisa diubah jadi kemenangan. Tapi satu hal yang tidak bisa dibuat-buat: apakah rakyat merasa punya ikatan denganmu atau tidak. Itu garis pemisah antara seorang pemimpin yang ditinggalkan dan yang dibela.” (Har)