Oleh: Ahmad Murjoko*
Tanggal 3 April 1950 menjadi momen bersejarah bagi Indonesia, di mana negara ini kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Peristiwa heroik ini tidak lepas dari peran Mohammad Natsir, Ketua Fraksi Partai Masyumi di Parlemen Republik Indonesia Serikat (RIS), yang mengajukan Mosi Integral untuk menyatukan kembali Republik Indonesia setelah terbentuknya negara federal akibat perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB).
Mosi Integral: Menyelamatkan NKRI dari Perpecahan
Mosi Integral bukanlah bentuk mosi tidak percaya terhadap pemerintah, melainkan upaya untuk menyelamatkan NKRI dari ancaman perpecahan. Dengan adanya mosi ini, Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 tetap terjaga dari upaya Belanda yang ingin membentuk negara boneka melalui RIS.
Banyak pengamat menyebut Mosi Integral Natsir sebagai “Proklamasi Kedua” setelah Proklamasi 1945. Presiden ke-3 RI, B.J. Habibie, bahkan menyebut Natsir sebagai pemimpin pejuang yang gigih dan tidak kenal lelah dalam memperjuangkan bangsanya. Keberaniannya dalam mengajukan Mosi Integral menjadi salah satu sumbangsih terbesar bagi Indonesia, menyatukan kembali NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Mengapa Memilih Negara Kesatuan?
Meskipun dalam KMB Indonesia menerima bentuk negara federal, langkah tersebut hanya bersifat taktis demi mendapatkan lebih banyak pengakuan internasional. Terbukti, setelah RIS dibentuk, semakin banyak negara yang mengakui kemerdekaan Indonesia, termasuk keanggotaannya di PBB.
Beberapa alasan mengapa Natsir memilih negara kesatuan:
- Sejarah: Indonesia pertama kali diproklamasikan sebagai negara kesatuan pada 17 Agustus 1945. Negara federal hanya muncul karena rekayasa Belanda melalui KMB.
- Logika Pemerintahan: Desentralisasi dalam negara kesatuan lebih sesuai dengan asas kerakyatan dibandingkan sistem federal.
- Efisiensi Administrasi: Negara kesatuan lebih efisien dari segi personalia dan biaya operasional pemerintahan.
- Semangat Persatuan: Sebagai negara baru, persatuan nasional menjadi hal krusial.
- Stabilitas Nasional: Mencegah gerakan separatisme dan menjaga keutuhan NKRI.
- Melanjutkan Program Kabinet Sebelumnya: Langkah ini sejalan dengan upaya kabinet RIS dan RI untuk membentuk negara kesatuan.
Namun, setelah lebih dari 70 tahun menjadi NKRI, tantangan besar muncul, terutama dalam hubungan pusat dan daerah yang sering kali tidak harmonis. Otonomi daerah pun belum sepenuhnya berjalan dengan baik, dan sistem pemerintahan masih cenderung sentralistik dan otoriter.
Tantangan dan Ancaman terhadap NKRI
Berbagai indikasi menunjukkan adanya potensi kemunculan kembali semangat federalisme akibat beberapa kebijakan pemerintahan yang cenderung otoriter, seperti:
- Bureaucratic Military Complex: Dominasi militer dan kepolisian dalam birokrasi serta jabatan pemerintahan.
- State Capitalism: Kendali negara dalam ekonomi yang tidak sesuai dengan semangat Pasal 33 UUD 1945.
- Sekularisasi Maksimal: Upaya menghilangkan peran agama dalam kehidupan politik dan sosial.
- Totalitarianisme: Kontrol penuh pemerintah atas berbagai aspek kehidupan masyarakat.
- Islamophobia dan Diskriminasi: Kesenjangan dalam representasi umat Islam di jabatan-jabatan strategis.
- Upaya Deislamisasi: Kebijakan yang melemahkan kekuatan ekonomi dan politik umat Islam.
- Pendekatan Keamanan Berlebihan: Menghambat partisipasi masyarakat dalam pemerintahan.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan apakah NKRI telah gagal dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.
Pandangan Masyumi terhadap Sistem Negara
Partai Masyumi memiliki sejarah panjang dalam menentukan sikap terhadap susunan negara. Beberapa sikap resminya mencerminkan preferensi terhadap sistem federal, antara lain:
- Penolakan terhadap Perjanjian Linggarjati karena mengarah pada pembentukan negara federal.
- Penolakan terhadap Perjanjian Renville yang semakin mempersempit wilayah RI.
- Muktamar Masyumi 1952 dan 1954 menunjukkan kecenderungan mendukung sistem federal, termasuk gagasan pembentukan Senat dalam parlemen.
- Ketidakpuasan terhadap NKRI karena praktik pemerintahan yang otoriter dan sentralistik.
Mengapa Tidak Mengajukan Negara Islam Indonesia (NII)?
Beberapa faktor yang menyebabkan Natsir tidak mengusulkan negara Islam sebagai alternatif RIS:
- Konteks Sidang DPR RIS: Forum tersebut merupakan hasil penunjukan, bukan pemilihan umum, sehingga tidak memiliki legitimasi penuh untuk keputusan besar.
- Tidak Ada Model Negara Islam yang Konkret: Saat itu, belum ada contoh negara Islam yang bisa dijadikan referensi.
- Pendekatan Taktis: NKRI dianggap sebagai langkah awal menuju cita-cita Masyumi dalam menerapkan ajaran Islam di Indonesia.
- Ketidaksiapan Masyarakat: Saat awal kemerdekaan, meskipun Piagam Jakarta sempat disepakati, tekanan dari Indonesia Timur membuatnya dibatalkan.
- Hasil Pemilu 1955: Partai-partai Islam tidak memperoleh suara mayoritas, menunjukkan bahwa konsep negara Islam belum menjadi pilihan utama rakyat.
Kesimpulan
Mosi Integral Natsir adalah tonggak sejarah penting yang menyelamatkan Indonesia dari perpecahan. Pilihan sistem negara kesatuan lebih didasarkan pada strategi politik ketimbang ideologi. Namun, dalam praktiknya, NKRI masih menghadapi tantangan besar, terutama dalam desentralisasi kekuasaan dan distribusi keadilan sosial.
Ke depan, tantangan terbesar bukanlah memilih antara negara kesatuan atau federal, melainkan bagaimana NKRI dapat benar-benar mencerminkan cita-cita kemerdekaan yang berlandaskan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
*) Waketum DPP Partai Masyumi, Penulis Buku Mosi Integral Natsir 1950