Editor Indonesia, Jakarta – Program operasi pasar melalui Perum Bulog yang digulirkan pemerintah—dalam bentuk beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP)—baru-baru ini menuai kritik. Masyarakat enggan membeli meski harganya lebih murah, karena kualitasnya dianggap di bawah standar konsumsi harian.
Beras SPHP Banyak Ditolak Masyarakat
Beras SPHP dikeluhkan karena teksturnya tidak pulen, berbau apek, dan terasa kurang enak. Meskipun dijual lebih murah —sekitar Rp12.500 per kilogram— beras ini kalah saing dibandingkan beras medium atau premium yang masih laku meski harganya mencapai Rp14.000–Rp 16.000 per kilogram.
Farida, ibu rumah tangga dari Depok, Jawa Barat, bercerita:
“Memang harganya murah, tapi rasanya nggak enak, agak bau apek. Anak-anak jadi nggak mau makan. Akhirnya saya tetap beli beras biasa yang lebih mahal, walau berat di kantong,” ungkap Farida kepada editorindonesia.com, Ahad (24/8/2025)
Menurut Farida, mungkin berasnya terlalu lama disimpan di gudang sehingga baunya apek. Rasanya pera tidak sepulen yang biasa dibelinya dengan harga Rp15.000 per kilo atau Rp13.500 per liternya.
“Saya yang penting berasnya pulen, tidak apek kalau makan dengan lauk sederhanapun rasanya enak. Tapi kalau berasnya apek dan pera dengan lauk enakpun jadi hambar. Beras itu kuncinya,” ungkap Farida.
Senada disampaikan Diah, ibu rumah tangga yang tinggal di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, yang membeli beras SPHP saat gelaran operasi bahan sembako murah di daerahnya. Ia membeli beras SPHP sebesar Rp62.500 ukuran lima kilogram atau sekilonya dibanderol Rp12.500 sesuai harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.
“Dari warnanya memang terlihat putih, tapi pas dimasak kurang enak, pera. Ngga mau beli lagi karena merusak rasa lauk pauknya. Biasanya makan nasi dengan telur dadar dan kecap udah enak,” ujar Diah.
Diah pun memperkirakan karena beras SPHP ini lama disimpan di gudang. Kendati Perum Bulog mengklaim telah mengelola stok dengan baik sesuai SOP, kenyataan di lapangan berbeda.
Seperti yang telah diperkirakan, stok beras di gudang Perum BULOG akhirnya menembus angka 4 juta ton pada 29 Mei 2025. Jumlah ini merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah BULOG berdiri. Dari total tersebut, sekitar 2,4 juta ton berasal dari serapan gabah/beras produksi dalam negeri, sementara sisanya adalah sisa stok tahun lalu, yang sebagian besar didatangkan dari impor.
Namun, di balik pencapaian ini tersimpan sejumlah pekerjaan rumah (PR) yang tidak ringan. Mengelola stok besar beras bukan perkara mudah, terutama karena beras adalah komoditas yang mudah rusak. Penyimpanan lebih dari 4 bulan akan meningkatkan risiko penurunan mutu, penyusutan volume, hingga pembusukan, meskipun perawatan dilakukan secara rutin (lumintu).
Target Penyaluran vs Realita
Pemerintah menyiapkan stok beras SPHP sebesar 1,3 juta ton untuk periode Juli–Desember 2025 sebagai bagian dari operasi pasar nasional.
Namun, hingga 20 Agustus 2025, dari data Badan Pangan Nasional, menyebutkan realisasi penyaluran SPHP baru mencapai sekitar 44,8 ribu ton, termasuk tahap awal dan Idulfitri—berarti baru sekitar 15 % dari target tahunan 1,5 juta ton.
Distribusi harian pun masih di kisaran 6.000–7.000 ton, jauh dari kebutuhan ideal.
Kerugian Kebijakan Tanpa Penyaluran Memadai
Pengamat perberasan Khudori, kepada editorindonesia.com, menyatakan saat ini, terdapat ratusan ribu ton beras di gudang berusia antara 9–14 bulan, bahkan puluhan ribu ton telah berusia lebih dari 14 bulan. Beras-beras ini harus segera disalurkan sebelum mutunya menurun drastis.
“Keluhan soal kualitas yang buruk sudah diperkirakan sebelumnya, program ini tampak tidak berhasil menjangkau dan didukung oleh masyarakat. Walaupun tujuannya adalah untuk meredam lonjakan harga beras,” ujarnya. (Didi)
Baca Juga: Penyaluran Beras Bulog Seret: Kalau Bisa Dipersulit, Kenapa Dipermudah?











