Opini

Pansus Parkir DPRD DKI Jakarta: Solusi atau Sandiwara Politik?

×

Pansus Parkir DPRD DKI Jakarta: Solusi atau Sandiwara Politik?

Sebarkan artikel ini
Pemblokiran Rekening Dormant Dinilai Sewenang-Wenang, Pengamat: Presiden Harus Evaluasi Kepala PPATK
Sugiyanto/dok.isti
Pansus Parkir DPRD DKI Jakarta: Solusi atau Sandiwara Politik

Oleh: Sugiyanto Emik

Ketika DPRD DKI Jakarta membentuk Panitia Khusus (Pansus) Perparkiran, publik sempat menaruh harapan: mungkin inilah momentum perbaikan menyeluruh tata kelola parkir yang selama ini kacau. Namun, tak sedikit pula yang skeptis. Apakah ini akan menjadi solusi struktural atau justru sandiwara politik semata?

Permasalahan parkir di Jakarta telah lama menjadi luka terbuka. Lahan-lahan publik dijarah untuk parkir liar, sistem pembayaran elektronik rusak bertahun-tahun tanpa perbaikan berarti, dan pendapatan daerah bocor hingga triliunan rupiah. Yang paling mengkhawatirkan, muncul dugaan bahwa jaringan mafia parkir melibatkan oknum pejabat, anggota dewan, bahkan kelompok preman.

Kepala Unit Pengelola Perparkiran DKI Jakarta pernah mengungkap bahwa kerusakan Terminal Parkir Elektronik (TPE) menyebabkan penurunan pendapatan drastis, dari Rp18 miliar menjadi hanya Rp8,9 miliar. Tapi itu baru permukaannya. Ketua Pansus, Jupiter, menyebut potensi pendapatan parkir Jakarta mencapai Rp1,4 triliun per tahun—namun yang terealisasi hanya sekitar Rp57 miliar. Lalu ke mana sisanya mengalir?

Selisih yang sangat janggal ini bukan sekadar persoalan teknis atau manajemen. Ini sinyal keras tentang lemahnya pengawasan, kuatnya intervensi kepentingan, dan potensi penyimpangan yang sudah berlangsung bertahun-tahun. Tak heran jika publik mulai curiga: apakah Pansus ini benar-benar berniat membongkar praktik mafia parkir, atau sekadar merapikan permukaannya saja?

Harus ditegaskan: reformasi tata kelola parkir bukan soal membentuk panitia lalu menggelar rapat-rapat formalitas. Ini soal keberanian melawan kepentingan yang sudah mengakar—baik di dalam birokrasi maupun di luar. Tanpa transparansi dan partisipasi publik, Pansus hanya akan menjadi panggung politik, bukan instrumen perubahan.

Masyarakat sipil, jurnalis, dan aktivis yang selama ini memantau isu ini dengan serius harus dilibatkan secara terbuka. Bukan hanya dalam diskusi, tetapi juga dalam proses audit, evaluasi kebijakan, dan pengawasan implementasi. Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik jelas menjamin hak warga untuk mengetahui dan mengawasi proses ini.

Langkah Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, yang menggagas pembentukan BUMD Parkir bisa menjadi titik awal pembenahan, asal dijalankan dengan prinsip profesionalisme dan akuntabilitas. Sistem nontunai wajib diterapkan secara menyeluruh, teknologi pengawasan harus ditingkatkan, dan praktik parkir liar harus diberantas tanpa pandang bulu.

Namun semua itu akan sia-sia jika Pansus gagal menyentuh akar masalah: siapa selama ini yang menguasai lahan parkir Jakarta, siapa yang menikmati kebocoran pendapatan, dan siapa yang melindungi mereka?

Jakarta tidak butuh sandiwara politik lagi. Kota ini butuh keberanian untuk membersihkan praktik rente, mafia, dan permainan kotor yang merugikan publik. Jika DPRD serius, libatkan masyarakat. Jika tidak, maka Pansus ini hanyalah akrobat panggung yang akan dilupakan begitu isu surut.

Publik tidak boleh diam. Saatnya kita ikut mengawal. Karena parkir adalah cermin kecil dari ketertiban kota—dan dari keberpihakan pemerintah kepada rakyatnya. (#)

*) Pemerhati Sosial dan Tata Kelola Kota