Oleh: Muhammad Fauzi-Marwan Hadidi*
Pada 3 September 1260, sejarah mencatat kemenangan gemilang umat Islam dalam Perang Ain Jalut di Palestina—sebuah momentum langka ketika kekuatan Islam bersatu melawan invasi Mongol yang tampak tak terkalahkan. Di bawah komando Sultan Saifuddin Qutuz dan panglima Baybars, pasukan Mamluk menunjukkan bahwa persatuan dan keberanian mampu mengubah arah sejarah. Namun, lebih dari tujuh abad kemudian, tanah yang sama kembali bersimbah darah. Kali ini bukan karena invasi kekaisaran asing semata, melainkan karena genosida yang berlangsung di depan mata dunia—sementara dunia Islam, yang dahulu pernah bangkit membela Palestina, kini justru terperangkap dalam kebisuan yang memilukan.
Ain Jalut: Sebuah Simbol Persatuan dan Perlawanan
Perang Ain Jalut bukan sekadar pertempuran militer. Ia adalah lambang dari apa yang bisa dicapai ketika umat Islam bersatu di bawah satu tekad: mempertahankan kehormatan, tanah air, dan keyakinan mereka.
Namun, kemenangan itu bukan datang dengan mudah. Sejarah mencatat betapa sebelumnya umat Islam di wilayah lain justru memilih diam dan berdamai dengan penjajah. Dulu, bangsa Irak hanya menyaksikan bangsa Mongol (Tartar) menyapu Khurasan dan membunuh jutaan Muslim. Alih-alih bergerak menolong saudara-saudaranya, mereka memilih “damai” demi keamanan semu. Dua tahun kemudian, nasib tragis menimpa mereka sendiri. Pasukan Mongol datang dan membantai lebih dari satu juta penduduk Baghdad, membakar kota itu bersama seluruh isinya.
Ironi sejarah terus berulang. Penduduk Syam pun tidak mengambil pelajaran. Mereka memilih membuat perjanjian damai dengan bangsa Mongol, bahkan ketika melihat Irak terbakar. Namun, hanya beberapa bulan setelahnya, Mongol kembali datang—menghancurkan Damaskus, membakar Aleppo, dan membantai penduduknya.
Kaum Mamluk di Mesir pun sempat condong memilih jalan yang sama: tunduk demi kelangsungan kekuasaan. Tapi sejarah berubah ketika Allah menurunkan pemimpin yang berani dan berjiwa jihad—Sultan Al-Muzaffar Saifuddin Qutuz.
Qutuz bangkit menyampaikan seruannya yang membakar semangat:
“Aku sendiri yang akan menemui orang-orang Tartar, wahai para pangeran kaum Muslim. Kalian telah lama makan dari Baitul Mal, dan kalian tidak suka melawan para penjajah. Saya akan berangkat. Siapa saja yang memilih jihad akan menemani saya, dan siapa yang tidak, silakan kembali ke rumahnya. Allah mengetahuinya, dan darah kaum muslimin yang terjaga ditanggung oleh orang-orang yang enggan berperang itu.”
Dengan suara yang bergetar dan air mata yang jatuh, ia berkata:
“Wahai para pemimpin umat Islam, siapakah yang akan membela Islam jika bukan kita?”
Pidato itu menggugah hati para pangeran, dan untuk memastikan tidak ada lagi jalan damai, Qutuz memerintahkan eksekusi para utusan Tartar. Mereka digantung di gerbang kota sebagai pesan terbuka bahwa Mesir bersiap jihad, bukan tunduk.
Hari pertempuran di Ain Jalut menjadi hari yang sulit. Qutuz sendiri turun ke medan tempur. Saat kudanya terkena anak panah dan ia terjatuh, ia tetap berdiri dan bertempur dengan berjalan kaki. Dalam momen kritis itu, ia melemparkan tutup kepalanya, menunjukkan kerinduannya untuk mati syahid. Ia meneriakkan seruan yang menggema di seluruh medan perang:
“Oh Islam!”
Teriakan itu membakar semangat pasukannya, hingga akhirnya kaum Tartar dikalahkan. Ain Jalut menjadi tempat kehancuran kekuatan Mongol—kemenangan ini menyelamatkan dunia Islam dari kehancuran total.
Palestina Hari Ini: Tanah Suci yang Terkepung dan Tersakiti
Ironisnya, tanah tempat kemenangan itu terjadi kini justru menjadi kuburan massal akibat serangan brutal yang tak kunjung berhenti. Gaza, yang telah terkepung selama lebih dari satu dekade, kini luluh lantak oleh gempuran militer yang membabi buta. Ribuan warga sipil, mayoritas perempuan dan anak-anak, menjadi korban. Rumah sakit diserang, tempat ibadah dirusak, dan akses bantuan kemanusiaan pun diblokade.
Lembaga-lembaga internasional seperti Human Rights Watch dan Amnesty International telah menyerukan penyelidikan atas dugaan kejahatan perang dan genosida. Namun, dunia seakan tuli. Lebih menyedihkan lagi, sebagian besar negara mayoritas Muslim hanya menyampaikan keprihatinan tanpa tindakan nyata. Bahkan ada yang justru mempererat hubungan diplomatik dan ekonomi dengan negara penyerang.
Dunia Islam: Dari Persatuan Menuju Kebisuan
Apa yang dulu menjadi kekuatan, kini berubah menjadi kelemahan. Dunia Islam yang pernah menampilkan keberanian kolektif seperti di Ain Jalut, kini terpecah oleh kepentingan politik, ekonomi, dan ego sektarian. Beberapa negara sibuk menjaga stabilitas dalam negeri atau menghindari konfrontasi dengan kekuatan besar dunia, meskipun itu berarti mengorbankan solidaritas terhadap sesama Muslim.
Padahal, kekuatan dunia Islam saat ini jauh lebih besar dalam aspek populasi, ekonomi, bahkan militer jika bersatu. Namun, dalam tragedi Palestina, yang tampak adalah keengganan kolektif untuk mengambil sikap tegas. Tidak ada konsensus politik, tidak ada embargo bersama, bahkan tekanan diplomatik pun nyaris tak terdengar.
“Jika dulu umat Islam berani mengangkat pedang demi membela kehormatan Islam, kini bahkan suara pun enggan diangkat.”
Refleksi: Di Mana Jiwa Ain Jalut dalam Diri Kita?
Kemenangan di perang Ain Jalut bukan hanya karena kekuatan fisik, tetapi karena keyakinan, solidaritas, dan keberanian moral. Tiga hal inilah yang tampaknya hilang dari tubuh dunia Islam saat ini. Kita lebih memilih diam, menghindari risiko, atau bersembunyi di balik diplomasi kosong—seolah-olah tragedi Palestina adalah urusan orang lain.
Padahal, penderitaan Palestina adalah cermin dari kegagalan kolektif umat Islam untuk menjaga warisan sejarah, nilai keadilan, dan kemanusiaan. Ain Jalut bisa menjadi inspirasi, bukan hanya untuk mengangkat senjata, tetapi untuk membangun solidaritas yang nyata: melalui diplomasi bermartabat, aksi kemanusiaan yang terorganisir, tekanan ekonomi kolektif, dan penyatuan narasi perjuangan.
Menulis Ulang Sejarah, atau Terhapus Darinya?
Sejarah adalah cermin. Ia tidak hanya mencatat, tetapi juga menghakimi. Di masa lalu, dunia Islam menulis sejarahnya dengan darah dan keberanian di Ain Jalut. Hari ini, dunia Islam justru terancam terhapus dari lembaran sejarah jika terus memilih diam.
Jika umat Islam tidak lagi mampu menyuarakan kebenaran dan membela keadilan bagi saudaranya di Palestina, maka mungkin kita perlu bertanya: apakah kita masih mewarisi semangat Ain Jalut, atau hanya menyimpannya sebagai dongeng kejayaan yang tak lagi kita pedulikan?
*) Dosen STID Mohammad Natsir