Editor Indonesia, Jakarta — Pemerintah berencana menghentikan pemberian insentif bagi mobil listrik (battery electric vehicle/BEV) impor dalam bentuk utuh (CBU) pada akhir 2025, sebagai bagian dari skema uji pasar yang disertai komitmen investasi. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Investasi Nomor 6 Tahun 2023 jo. Nomor 1 Tahun 2024.
Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Mahardi Tunggul Wicaksono, mengatakan hingga saat ini belum ada pembahasan lanjutan antar kementerian terkait perpanjangan insentif untuk BEV impor.
“Artinya, bisa kita bilang insentif BEV impor akan berakhir pada akhir 2025, sesuai regulasi yang ada,” ujarnya di Jakarta, dikutip Selasa (26/8/2025).
Insentif dan potongan besar bagi BEV impor
Dalam skema uji pasar tersebut, impor BEV CBU mendapatkan fasilitas bea masuk (BM) 0% dari tarif normal 50% serta pembebasan PPnBM (0% dari 15%). Akibatnya, BEV impor hanya dikenakan pajak 12% dari total yang semula mencapai 77% — atau diskon fiskal sekitar 65% dibanding kondisi normal.
Skema insentif ini mulai berlaku pada Februari 2025, dengan batas waktu permohonan insentif hingga 31 Maret 2025 dan masa berakhir insentif pada 31 Desember 2025.
Kemenperin juga menetapkan ambang Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk akses insentif: 40% untuk periode 2024–2026, lalu naik menjadi 60% pada 2027–2028. Hanya pabrikan yang memenuhi persyaratan produksi/TKDN tertentu yang berhak mendapat PPN ditanggung pemerintah (PPN DTP) sebesar 10% sehingga efektif membayar 2%.
Data Kemenperin mencatat sejumlah produsen mengikuti skema investasi CBU dengan komitmen investasi, antara lain BYD, Aion, Maxus, Vinfast, Geely, Citroen, VW, Xpeng, dan Ora. Sedangkan peserta yang menjalankan skema produksi sesuai TKDN meliputi Wuling, Chery, Aion, Hyundai, MG, dan Citroen.
Tercatat enam perusahaan mengajukan rencana penambahan investasi total sekitar Rp15 triliun dan kapasitas produksi gabungan mencapai 305 ribu unit. Dari enam perusahaan tersebut, dua memilih kerja sama perakitan dengan assembler lokal (PT Geely Motor Indonesia dan PT Era Industri Otomotif), dua perusahaan memperluas kapasitas produksi (PT National Assemblers dan PT Inchcape Indomobil Energi Baru), sementara dua lainnya membangun fasilitas pabrik baru (PT BYD Auto Indonesia dan PT Vinfast Automobile Indonesia).
Menurut Kemenperin, populasi kendaraan listrik di Indonesia tumbuh signifikan setiap tahun. Pada 2024 total populasi kendaraan listrik mencapai 207.000 unit, naik 78% dari 116.000 unit pada 2023.
Pangsa pasar juga bergeser: hybrid electric vehicle (HEV) naik dari 0,28% pada 2021 menjadi 7,62% pada Juli 2025, sementara BEV melonjak dari 0,08% menjadi 9,7% pada periode yang sama. Sebaliknya, pangsa pasar kendaraan berbasis mesin pembakaran internal (ICE) turun dari 99,64% pada 2021 menjadi 82,2% pada Januari–Juli 2025.
Mahardi juga menilai pergeseran preferensi konsumen menuju kendaraan yang lebih efisien dan ramah lingkungan terlihat nyata.
“Program percepatan pengembangan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia membuat populasi kendaraan ini meningkat setiap tahun,” ujarnya.
Dengan berakhirnya insentif impor BEV CBU, produsen kendaraan listrik yang ingin terus menjual di Indonesia dipaksa menyesuaikan model bisnis — beralih ke skema CKD (completely knock down) mulai 2026 dan IKD (incompletely knock down) pada 2030 — agar memenuhi persyaratan TKDN yang ditetapkan pemerintah (40% pada 2026, 60% pada 2027 dan seterusnya hingga 80% pada 2030). (Did)