Ketika bangsa kehilangan arah moral, hanya pemimpin yang “gila” karena cinta rakyat yang bisa memulihkan kebenaran.
Oleh : Sri Radjasa*
Kadang, bangsa yang sedang terluka justru membutuhkan sedikit kegilaan. Bukan gila karena kehilangan akal sehat, tetapi gila karena keberanian—karena menolak tunduk pada kebiasaan yang menyesatkan.
Dalam situasi darurat moral dan darurat keadilan seperti sekarang ini, Indonesia tampaknya sedang merindukan sosok pemimpin yang berani menabrak kelaziman, mengguncang sistem yang beku, dan memulihkan akal sehat bangsa yang terlalu lama terbius kepura-puraan.
Bukan Kekurangan Orang Pintar, tapi Orang “Gila”
Kita bukan kekurangan orang pintar. Negeri ini penuh dengan profesor hukum, doktor ekonomi, pakar politik, dan konsultan strategi. Tapi kita miskin orang gila—yakni mereka yang gila dalam keberanian moral, integritas, dan cinta rakyat tanpa pamrih.
Yang kita miliki sekarang lebih banyak pemimpin yang pura-pura gila: berteriak tentang perubahan tapi takut kehilangan jabatan, berbicara tentang keadilan tapi menutup mata terhadap ketidakadilan yang nyata.
Kegilaan sejati justru lahir dari kejernihan hati, bukan dari ambisi. Pemimpin yang benar-benar “gila” adalah mereka yang berani mengambil keputusan di luar pola birokrasi yang kaku, yang tak gentar menegakkan hukum meski harus menumbalkan kepentingan orang-orang dekatnya sendiri. Kita pernah punya teladan tentang itu. Sejarah Aceh mencatatnya dengan tinta emas.
Teladan dari Sultan Iskandar Muda
Ketika Sultan Iskandar Muda memimpin Kesultanan Aceh Darussalam di awal abad ke-17, Aceh sedang berada di persimpangan genting. Para ulee balang memberontak, rakyat menderita kelaparan, dan kekayaan negeri dikuasai para bangsawan tamak.
Di usia muda, Iskandar Muda tidak memilih jalan kompromi. Ia mengambil langkah yang bagi sebagian orang tampak “gila”: menindak para pembangkang tanpa pandang bulu, merampas harta oligarki yang menimbun kekayaan, dan mendistribusikannya kepada rakyat miskin. Dalam waktu singkat, kelaparan teratasi, keamanan pulih, dan Aceh kembali menjadi kerajaan maritim yang disegani dunia.
Kegilaan Iskandar Muda bukanlah anarki. Ia menegakkan hukum bahkan terhadap darah dagingnya sendiri. Saat putra mahkota Meurah Pupok terbukti bersalah, ia menjatuhkan hukuman mati. Dari peristiwa itulah lahir kalimat yang menjadi semboyan moral bagi rakyat Aceh:
“Mate aneuk meupat jerat, gadoh adat pat tajak mita.”
(Mati anak ada kuburnya, hilang adat ke mana hendak dicari.)
Ungkapan itu bukan sekadar legenda, melainkan pesan mendalam tentang keadilan yang tak boleh disandera oleh kasih pribadi. Iskandar Muda tampak “gila” bagi bangsawan yang rakus, tapi justru karena kegilaannya itulah rakyat menemukan kembali harga dirinya.
Para “Ulee Balang” Modern
Empat abad setelah masa kejayaan Aceh, Indonesia menghadapi problem yang tak jauh berbeda. Para ulee balang modern menjelma menjadi oligarki ekonomi dan politik yang menguasai sumber daya negeri tanpa rasa malu.
Hukum seolah tunduk pada tebalnya rekening dan kuatnya jaringan. Rakyat kecil kembali jadi penonton, menunggu keadilan yang tak kunjung datang.
Masalah terbesar bangsa ini bukan hanya korupsi dalam arti uang, tetapi korupsi dalam arti nurani. Kita terbiasa menormalisasi kebobrokan. Pejabat yang tertangkap tangan korupsi disambut bak pahlawan ketika bebas. Para politisi saling menuding di depan kamera, lalu berpelukan di balik layar. Penegakan hukum menjadi sandiwara, sementara rakyat terus menelan pil pahit ketidakadilan.
Antara Pura-pura Gila dan Gila karena Nurani
Dalam situasi seperti itu, hanya pemimpin yang benar-benar “gila” karena cinta rakyat yang bisa memutus lingkaran setan ini.
Gila dalam arti berani melawan sistem hukum yang kehilangan ruhnya, menolak kompromi dengan kemunafikan politik, dan berani mengorbankan popularitas demi kebenaran.
Tapi yang muncul justru sebaliknya: pemimpin yang pura-pura gila—berbicara keras di depan publik, namun tunduk di belakang meja. Mereka mencitrakan diri sebagai orang berani, padahal sedang memainkan peran dalam drama besar bernama politik elektoral.
Bangsa ini tidak butuh pemimpin yang pandai berpura-pura. Kita butuh mereka yang tulus menanggung risiko karena kejujurannya; yang siap dicaci karena kebenarannya, bukan dipuji karena kepura-puraannya.
Kegilaan sebagai Jalan Keselamatan
Dalam filsafat politik klasik, pemimpin sejati disebut philosopher-king: raja yang bijak dan memerintah dengan kebijaksanaan.
Namun dalam konteks Indonesia modern, mungkin kita perlu menambahkan satu kata lagi: philosopher-king yang gila. Sebab tanpa kegilaan moral, kebijaksanaan akan kalah oleh kepentingan.
Negara ini sudah terlalu lama dipimpin oleh orang-orang yang terlalu waras—waras menjaga citra, waras menyenangkan investor, waras mencari aman di hadapan kekuasaan besar.
Begitu warasnya hingga kehilangan rasa malu melihat ketidakadilan yang telanjang di depan mata.
Pemimpin yang gila karena cinta rakyat berani keluar dari zona nyaman itu. Ia tidak menunggu sistem berubah, tetapi memaksanya berubah. Ia tidak menunggu hukum ditegakkan, tetapi memastikan hukum bekerja untuk keadilan, bukan untuk kepentingan kelompok.
Jejak Kegilaan yang Pernah Menyelamatkan Republik
Kita pernah menyaksikan kegilaan semacam itu di masa awal republik.
Bung Karno dengan keberaniannya melawan penjajahan ekonomi global, meski harus dicap diktator.
Bung Hatta dengan kegilaan moralnya menolak fasilitas negara setelah pensiun.
Bung Syahrir dengan keberaniannya berpikir melampaui zaman.
Semua mereka gila dalam caranya sendiri, dan karena kegilaan itulah republik ini berdiri.
Kini, kegilaan semacam itu justru hilang dari panggung kepemimpinan. Yang tersisa hanyalah kalkulasi elektabilitas dan koalisi. Para calon pemimpin lebih sibuk mengatur strategi pencitraan ketimbang membangun keberanian moral. Politik kehilangan ruh, dan rakyat kehilangan arah.
Bangsa ini mungkin belum hancur, tapi sedang menuju jurang kehilangan harapan. Ketika rakyat mulai percaya bahwa keadilan hanyalah slogan, di sanalah kemerdekaan sejati kehilangan maknanya.
Saatnya Berani “Gila”
Satu-satunya cara untuk mengembalikan harapan itu adalah menghadirkan pemimpin yang benar-benar “gila” karena cinta rakyat.
Pemimpin yang tidak takut menyinggung kepentingan para penguasa modal.
Pemimpin yang berani menegakkan hukum tanpa pandang bulu, meski harus kehilangan sahabat atau keluarganya sendiri.
Pemimpin yang tak mencari nama, tapi meninggalkan jejak kebenaran.
Seperti Iskandar Muda yang menegakkan hukum atas anaknya sendiri, seperti Bung Karno yang berani menantang dunia—bangsa ini butuh keberanian moral yang melampaui logika kekuasaan.
Mungkin di mata politisi itu gila, tapi dalam pandangan sejarah, justru kegilaan semacam itulah yang menyelamatkan bangsa.
Karena bangsa besar tidak dibangun oleh mereka yang pandai berpura-pura waras, melainkan oleh mereka yang berani tampak gila demi kebenaran.
*) Pemerhati Intelijen








