Editor Indonesia, Jakarta — Realisasi penerimaan dari sektor parkir di Jakarta masih jauh dari target. Hingga semester pertama 2025, pajak parkir yang berhasil dikumpulkan baru mencapai sekitar Rp90 miliar atau 30 persen dari target yang diturunkan menjadi Rp300 miliar dalam rancangan perubahan APBD DKI Jakarta. Hal ini memicu kritik dan dorongan untuk reformasi pengelolaan parkir di ibu kota.
Pengamat kebijakan publik, Sugiyanto, menilai stagnasi penerimaan pajak parkir disebabkan oleh lemahnya sistem pengelolaan, pengawasan, hingga digitalisasi. Ia menyarankan agar Pemprov DKI Jakarta segera melakukan rotasi menyeluruh terhadap pejabat-pejabat penting di Dinas Perhubungan (Dishub) dan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda).
“Untuk menghadirkan semangat dan dinamika baru, sebaiknya dilakukan rotasi menyeluruh terhadap seluruh pejabat penting yang terkait di Dishub dan Bapenda,” kata SGY sapaan Sugiyanto, Senin (14/7/2025).
Ia menjelaskan, terdapat perbedaan mendasar antara pajak parkir dan retribusi parkir. Pajak parkir dikenakan pada layanan yang disediakan swasta (off-street), sementara retribusi dikenakan pada parkir di fasilitas milik pemerintah (on-street). Kendati berbeda, keduanya merupakan bagian dari Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Berdasarkan data yang diterimanya, saat ini terdapat sekitar 1.300 lokasi parkir di Jakarta, yang sebagian besar dikelola swasta. Sedangkan Unit Pengelola (UP) Parkir Dishub hanya mengelola sekitar 85 lokasi off-street. Untuk parkir di bahu jalan, terdapat 441 ruas jalan yang ditetapkan dalam Pergub No. 188 Tahun 2016, namun baru 244 ruas yang beroperasi.
“Padahal jumlah ini seharusnya bisa ditambah untuk mendongkrak PAD. Apalagi setoran dari sektor parkir on-street juga sangat rendah, baru sekitar Rp3 miliar dari target tahunan Rp20 miliar,” ujar SGY.
Ia menyoroti fenomena “parkir dalam parkir” atau praktik pengelolaan liar di lokasi parkir resmi yang menjadi indikasi lemahnya pengawasan. Selain itu, belum adanya sistem digital terpadu turut menyulitkan pemantauan dan membuka celah kebocoran pendapatan.
Untuk mengatasi masalah ini, SGY mengusulkan lima langkah konkret:
1. Rotasi pejabat kunci di Dishub dan Bapenda untuk menyegarkan birokrasi dan mencegah praktik lama yang stagnan.
2. Revisi regulasi pengelolaan parkir, termasuk penerapan zonasi dan tarif progresif.
3. Digitalisasi sistem parkir secara menyeluruh, dengan integrasi data lintas instansi.
4. Penguatan pengawasan, melibatkan aparat hukum dan partisipasi masyarakat.
5. Transparansi dan akuntabilitas, melalui publikasi data pendapatan parkir secara berkala.
SGY menambahkan, Pemprov DKI perlu memutakhirkan data wajib pajak parkir, menjalin kerja sama baru yang transparan dengan pengelola swasta, dan meningkatkan kapasitas SDM melalui pelatihan serta sistem parkir elektronik.
“Parkir bukan sekadar persoalan tempat kendaraan, tapi cermin tata kelola kota. Jakarta butuh sistem yang modern, efisien, dan berpihak pada kepentingan publik,” ujarnya.
Dengan potensi 24 juta kendaraan bermotor yang lalu lalang di Jakarta, potensi pajak parkir diperkirakan mencapai Rp4,3 triliun. Namun tanpa pembenahan struktural dan sistemik, potensi tersebut hanya akan menjadi angka di atas kertas. (Har)
Baca Juga: Gubernur Jakarta Rencanakan Kenaikan Tarif Parkir untuk Subsidi Transportasi Gratis