Iklan SMPB
Internasional

Perang Iran-Israel di Dunia Maya: Disinformasi dan Propaganda Mengguncang Opini Publik

×

Perang Iran-Israel di Dunia Maya: Disinformasi dan Propaganda Mengguncang Opini Publik

Sebarkan artikel ini
Perang Iran-Israel di Dunia Maya: Disinformasi dan Propaganda Mengguncang Opini Publik
do.Editor Indonesia-ai
Perang Iran-Israel di Dunia Maya: Disinformasi dan Propaganda Mengguncang Opini Publik

Editor Indonesia, Jakarta – Konflik Iran dan Israel yang berlangsung selama 12 hari hingga mencapai gencatan senjata pada 24 Juni 2025 tidak hanya berdarah di dunia nyata, tetapi juga sengit di dunia maya. Di ranah digital, perang terjadi dalam bentuk baru: disinformasi, manipulasi visual, dan propaganda yang menyesatkan opini publik global.

Medan Baru: Media Sosial Jadi Ladang Propaganda

Pelantar media sosial seperti X (sebelumnya Twitter), YouTube, dan TikTok dipenuhi konten video yang menggambarkan pertempuran udara, ledakan besar, hingga tokoh-tokoh dunia yang dimanipulasi menggunakan kecerdasan buatan (AI). Semua konten itu dikemas sedemikian rupa untuk memperkuat narasi tertentu, tanpa verifikasi maupun konteks faktual.

Salah satu unggahan viral berasal dari akun X @PrayforOomfie pada 14 Juni 2025, yang menampilkan video pertempuran udara antara pesawat tempur Iran dan Israel. Teks narasi menyebutkan “teror di langit Israel”, namun setelah ditelusuri, video berdurasi 32 detik itu ternyata merupakan cuplikan dari simulasi gim perang populer Arma 3 dan War Thunder. Meski fiktif, video tersebut telah ditonton lebih dari 928.000 kali.

Unggahan lain datang dari akun centang biru @stiwarl510 pada 16 Juni, memperlihatkan ledakan besar yang disebut sebagai serangan nuklir Iran ke Israel. Video berdurasi 49 detik itu telah dilihat 1,8 juta kali. Faktanya, video itu adalah dokumentasi lama dari ledakan dahsyat di kawasan industri Tianjin, Tiongkok, yang terjadi satu dekade lalu.

Disinformasi dengan Sentuhan AI

Tak berhenti pada video rekaman ulang, konten rekayasa berbasis kecerdasan imitasi pun bermunculan. Sebuah unggahan dari akun @Boediantar4 memperlihatkan video manipulatif di mana Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei tampak berjalan berdampingan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un. Di sisi lain, Donald Trump dan Benjamin Netanyahu digambarkan berlari menjauh.

Video tersebut sepenuhnya hasil rekayasa AI, namun telah ditonton 72.800 pengguna dan memicu banyak komentar pro-kontra. Pola seperti ini menunjukkan betapa mudahnya publik terseret dalam narasi yang dibentuk melalui teknologi tanpa menyadari keabsahannya.

Mengapa Disinformasi Menyebar Begitu Cepat?

Menurut peneliti komunikasi digital Matthew Facciani dari University of Notre Dame, disinformasi menyebar lebih cepat ketika masyarakat berada dalam kondisi terpolarisasi. Konflik geopolitik, seperti yang terjadi di Timur Tengah, menciptakan ketegangan emosional yang mempercepat penyebaran konten sensasional dan provokatif.

Claire Wardle dari Cornell University menyatakan bahwa tujuan utama disinformasi dalam situasi konflik adalah menciptakan kebingungan, ketidakpercayaan, dan disintegrasi sosial. “Dalam konflik, disinformasi bisa jadi lebih berbahaya daripada peluru,” ujarnya.

Membedah Tiga Jenis Gangguan Informasi

Mengutip penelitian Wardle & Derakhsan (2017) serta Ehrenfeid & Barton (2019), gangguan informasi dapat diklasifikasikan menjadi tiga:

Perang Iran-Israel di Dunia Maya: Disinformasi dan Propaganda Mengguncang Opini Publik
  1. Misinformasi: Informasi salah yang disebarkan tanpa niat jahat—biasanya karena ketidaktahuan.

  2. Disinformasi: Informasi salah yang sengaja dibuat dan disebar untuk menipu atau merugikan.

  3. Malinformasi: Informasi benar yang dibocorkan ke publik untuk merusak reputasi atau menciptakan kerugian.

Dalam konteks konflik Iran-Israel, disinformasi menjadi jenis yang paling banyak beredar, karena secara strategis digunakan oleh pihak-pihak berkepentingan untuk memanipulasi opini massa.

Kesadaran Digital Jadi Tameng Utama

Dunia maya kini menjadi medan tempur tak kasatmata, di mana realitas bisa direkayasa, dan persepsi publik dapat dimanipulasi secara masif. Keberadaan video palsu, narasi fiktif, hingga propaganda berbasis AI menunjukkan bahwa masyarakat global memerlukan tameng baru: literasi digital dan skeptisisme kritis.

Menerima informasi tanpa verifikasi hanya akan menjadikan kita korban dari perang narasi. Di era pasca-kebenaran ini, kehati-hatian bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. (Haryanto/dari berbagai sumber)