Editorindonesia, Jakarta – Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP Persis) menilai sidang isbat oleh Kementerian Agama masih dibutuhkan untuk meminimalisir dampak perbedaan. Hal itu menanggapi wacana dan usulan peniadaan sidang isbat guna efisiensi anggaran.
Ketua Umum PP Persis, Ustadz Jeje Zaenudin berpandangan bahwa kenyataannya umat Islam Indonesia terdiri dari banyak ormas yang memiliki lembaga-lembaga hisab dan rukyat yang berbeda-beda metoda dan standar yang dipakainya.
“Maka dengan keberadaan forum sidang isbat di bawah Kementerian Agama sangat besar manfaatnya dalam meminimalisir dampak negatif dari adanya perbedaan awal Ramadhan, Idul fitri, dan Idul adha,” kata Ustadz Jeje dalam keterangannya, Ahad (10/3/2024).
Kendati penanggalan bulan hijriyah setiap bulan sudah dapat diketahui dan ditetapkan melalui penghitungan hisab dan standar imkanurrukyat yang disepakati, menurut Ustadz Jeje, untuk puasa Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha, forum sidang isbat tetap dibutuhkan sebagai proses konfirmasi dan penegasan terhadap kebenaran hasil penghitungan hisab.
“Sehingga memberi kekuatan dan kepastian hukum bagi seluruh kelompok masyarakat muslim Indonesia, baik yang mau mengikuti penetapan pemerintah ataupun yang mau mengikuti penetapan ormas yang diikutinya,” ujarnya.
Ustadz Jeje menambahkan, Persis mendukung pemerintah untuk melanjutkan keberadaan forum Sidang Isbat sebagai pelaksanaan ketentuan pasal 52A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Namun demikian, bentuk dan formatnya dapat disesuaikan dengan situasi, kondisi, dan kebutuhan.
PP Persis secara resmi mengirim pandangan tersebut dalam Surat Rekomendasi untuk Menteri Agama Republik Indonesia (Cq. Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam) yang ditandatangani oleh Ketua Umum PP Persatuan Islam Ustadz Jeje Zaenudin dan Sekretaris Umum Dr Haris Muslim di Bandung, Kamis 7 Maret 2023.
Sebagaimana diketahui, Kementerian Agama rutin menggelar sidang isbat (penetapan) awal Ramadan, Syawwal, dan Zulhijjah. Hal ini sudah berlangsung sejak dekade 1950-an, sebagian sumber menyebut tahun 1962. Hasil sidang isbat diumumkan oleh Menteri Agama dan itu menjadi momen yang ditunggu masyarakat.
Dalam perkembangan selanjutnya, MUI menerbitkan Keputusan Fatwa No 2 Tahun 2004 tentang Penetapan Awal Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah. Fatwa itu salah satunya memutuskan bahwa penetapan awal Ramadan, Syawwal, dan Dzulhijjah dilakukan berdasarkan metode rukyah dan hisab oleh Pemerintah RI cq. Menteri Agama dan berlaku secara nasional.
Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah (Urais-Binsyar) Ditjen Bimas Islam, Adib, menjelaskan sidang isbat penting dilakukan karena Indonesia bukan negara agama, bukan juga negara sekuler. Indonesia tidak bisa menyerahkan urusan agama sepenuhnya kepada orang per orang atau golongan.
Sidang isbat penting dilakukan karena ada banyak organisasi kemasyarakatan (Ormas) Islam di Indonesia yang juga memiliki metode dan standar masing-masing dalam penetapan awal bulan Hijriyah. Tidak jarang pandangan satu dengan lainnya berbeda, seiring dengan adanya perbedaan mazhab serta metode yang digunakan. Sidang isbat menjadi forum, wadah, sekaligus mekanisme pengambilan keputusan.
Dalam prosesnya, sidang isbat menjadi forum musyawarah para ulama, pakar astronomi, ahli ilmu falak dari berbagai ormas Islam, termasuk instansi terkait dalam menentukan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Sidang ini dihadiri juga Duta Besar Negara Sahabat, Ketua Komisi VIII DPR RI, Perwakilan Mahkamah Agung, Perwakilan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Perwakilan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Perwakilan Badan Informasi Geospasial (BIG), Perwakilan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Perwakilan Bosscha Institut Teknologi Bandung (ITB), Perwakilan Planetarium Jakarta, Pakar Falak dari Ormas-ormas Islam, Anggota Tim Hisab Rukyat Kementerian Agama, dan Pimpinan Organisasi Kemasyarakatan Islam dan Pondok Pesantren. (Her)