Jabodetabek

PLTSa Jadi PSN, Tapi Jakarta Malah Main di RDF Rorotan: BPK Harus Audit, KPK Jangan Diam

×

PLTSa Jadi PSN, Tapi Jakarta Malah Main di RDF Rorotan: BPK Harus Audit, KPK Jangan Diam

Sebarkan artikel ini
PLTSa Jadi PSN, Tapi Jakarta Malah Main di RDF Rorotan: BPK Harus Audit, KPK Jangan Diam
PLTsa jadi PSN, Jakarta malah fokus RDF/dok.Editor Indonesia/HO-sgy
PLTSa jadi PSN, Tapi Jakarta Malah Main di RDF Rorotan: BPK Harus Audit, KPK Jangan Diam

Editor Indonesia, Jakarta — Pemerintah pusat di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto menempatkan pengelolaan sampah menjadi energi listrik sebagai prioritas nasional. Melalui Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029, proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) resmi masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN).

Langkah ini mempertegas arah kebijakan energi bersih berbasis lingkungan, dengan payung hukum yang diperkuat lewat Perpres Nomor 35 Tahun 2018 tentang percepatan pembangunan PLTSa berbasis teknologi ramah lingkungan. Kini, regulasi itu sedang direvisi agar proses perizinan lebih cepat, investasi meningkat, dan tipping fee dihapus untuk menarik investor.

Presiden Prabowo bahkan menargetkan pembangunan PLTSa di 34 kota strategis dalam dua tahun ke depan sebagai simbol kemandirian energi dan pengelolaan sampah berkelanjutan.

Namun, di tengah arah kebijakan nasional yang semakin progresif, DKI Jakarta justru memilih jalur berbeda.

RDF Rorotan: Proyek Miliaran yang Sarat Pertanyaan

Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo telah menyatakan komitmennya membangun empat PLTSa di Jakarta dalam acara Urban Climate Action Programme – Climate Action Implementation Regional Convening 2025 (23 Juli 2025). Langkah ini sejalan dengan kebijakan nasional.

Sayangnya, hingga kini Pemprov DKI masih tersandung persoalan lama: proyek Refuse Derived Fuel (RDF) Rorotan di Cilincing, Jakarta Utara.

Proyek senilai Rp1,28 triliun ini diklaim mampu mengolah 2.500 ton sampah per hari dan menghasilkan 875 ton bahan bakar padat (RDF). Namun secara teknis, RDF bukanlah PLTSa, karena tidak menghasilkan listrik yang bisa disalurkan ke jaringan PLN.

“RDF Rorotan tidak memenuhi kriteria sebagai PLTSa dan tidak bisa dikategorikan sebagai PSN,” kata Sugiyanto Emik, pengamat kebijakan publik dari Forum Masyarakat Peduli Jakarta.
Menurutnya, pergantian proyek ITF Sunter—yang berstatus PSN—dengan RDF Rorotan tanpa dasar hukum yang setara “bisa dianggap sebagai bentuk penyimpangan arah kebijakan nasional dan membuka ruang masalah hukum di kemudian hari.”

Bayang-Bayang KKN dan Lemahnya Manajemen

Proyek RDF Rorotan dilaksanakan berdasarkan Kontrak Nomor 2101/PPK-MAF/PN 01.02 tertanggal 26 Maret 2024 antara Pemprov DKI dan KSO WJK, dengan dasar Keputusan Gubernur Nomor 834 Tahun 2023 menggunakan skema design and build.

Sejak awal, proyek ini diliputi masalah: addendum berulang, bau menyengat, dugaan pencemaran udara, dan keterlambatan penyelesaian. Target rampung pada 31 Desember 2024 molor hingga 31 Desember 2025. Padahal dana APBD yang digelontorkan mencapai triliunan rupiah.

“Proyek sebesar ini tidak boleh dibiarkan tanpa pengawasan yang ketat. Apalagi jika ada indikasi keterlambatan berulang dan potensi pelanggaran kontrak,” ujar Sugiyanto.
Ia menilai, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perlu turun tangan melakukan audit investigatif menyeluruh untuk memastikan tidak ada penyimpangan dalam penggunaan anggaran dan pelaksanaan teknis proyek.

Audit BPK Mendesak, KPK Jangan Pasif

Berdasarkan laporan terakhir Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta per 30 April 2025, sejumlah perbaikan masih dilakukan: modifikasi unit wet scrubber, pemasangan bag filter, hingga sistem deodorizer spray untuk mengatasi bau di area bunker. Namun, hingga Oktober 2025, fasilitas ini masih sekadar tahap uji coba.

Publik pun mulai skeptis. Mampukah RDF Rorotan benar-benar menjadi solusi sampah Jakarta, atau justru berujung sebagai proyek gagal total yang menyedot anggaran besar tanpa hasil nyata?

Sugiyanto menegaskan, “Jika audit BPK menemukan pelanggaran hukum atau dugaan penyimpangan, maka KPK harus segera bertindak. KPK jangan hanya menunggu laporan, tapi proaktif menelusuri potensi korupsi di proyek lingkungan strategis seperti ini.”

Audit investigatif, lanjutnya, perlu mencakup seluruh siklus proyek—mulai dari perencanaan, lelang, pelaksanaan kontrak, hingga evaluasi hasil kerja. Hanya dengan cara itu, publik bisa yakin bahwa uang rakyat digunakan secara transparan dan bertanggung jawab.

PLTSa: Jalan yang Benar untuk Energi Bersih Jakarta

Berbeda dengan RDF, PLTSa menghasilkan listrik yang langsung terhubung ke jaringan PLN dan menjadi bagian dari PSN energi bersih. Artinya, proyek seperti ITF Sunter sebenarnya sejalan dengan visi pemerintahan Prabowo dan mandat RPJMN 2025–2029.

Karena itu, menggantikan proyek strategis nasional dengan RDF tanpa dasar hukum kuat merupakan langkah mundur. “Jakarta seharusnya memimpin, bukan justru melenceng dari kebijakan nasional,” kritik Sugiyanto.

Momentum Perbaikan Tata Kelola Sampah

Kebijakan Presiden Prabowo yang menjadikan PLTSa sebagai PSN membuka peluang besar bagi transformasi energi bersih di perkotaan. Namun, keseriusan Pemprov DKI Jakarta dalam menindaklanjuti kebijakan ini akan menjadi ujian penting.

Gubernur Pramono Anung perlu memastikan agar empat PLTSa yang dijanjikan benar-benar terwujud, bukan sekadar jargon seremonial. 
Dan yang tak kalah penting, BPK dan KPK harus hadir sebagai pengawas publik agar setiap rupiah anggaran tidak menguap sia-sia di tumpukan sampah Rorotan.

“Transparansi dan akuntabilitas adalah kunci. Tanpa itu, proyek pengelolaan sampah hanya akan berubah menjadi tumpukan masalah baru, bukan solusi,” pungkas Sugiyanto Emik. (Frd)

Baca Juga: Pengelolaan Sampah di RDF Plant Rorotan Dihentikan, Warga Keluhkan Bau dan Asap