Opini

Polri di Persimpangan Jalan: Menolak Reformasi dan Merusak Konstitusi?

×

Polri di Persimpangan Jalan: Menolak Reformasi dan Merusak Konstitusi?

Sebarkan artikel ini
Mutasi Polri Agustus 2025: Dedi Prasetyo Jadi Wakapolri, Asep Edi Pimpin Polda Metro
Ilustrasi/dok.ist

Oleh:  Sri Radjasa MBA*

Di tengah tergerusnya kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum, Polri kembali menjadi sorotan. Bukan karena prestasi dalam menegakkan keadilan, tetapi justru karena kebijakan internal yang berpotensi bertentangan dengan hukum dan semangat reformasi.

Publik patut mempertanyakan keputusan Kapolri yang menugaskan 58 perwira tinggi dan menengah (Pati dan Pamen) ke berbagai kementerian dan lembaga negara non-polisi. Yang menjadi sorotan tajam, penugasan ini dilakukan tanpa terlebih dahulu mewajibkan mereka mengundurkan diri dari institusi Polri.

Padahal, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 28 ayat (3) menyatakan dengan jelas:

“Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.”

Lebih jauh, Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa Polri adalah alat negara yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat serta menegakkan hukum. Dalam konteks ini, menempatkan anggota aktif Polri di jabatan sipil tanpa mundur dari kedinasan jelas menyimpang dari mandat konstitusi.

Menurut data dari Indonesia Police Watch (IPW), setidaknya 58 perwira Polri ditugaskan ke berbagai kementerian dan lembaga negara seperti Kementerian Pertanian, Kementerian ATR/BPN, dan beberapa BUMN strategis. Langkah ini dinilai oleh IPW sebagai bentuk politisasi institusi Polri dan rawan konflik kepentingan.

Lembaga survei Indikator Politik Indonesia pada Oktober 2023 lalu juga mencatat bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap Polri hanya 57,9%, turun dari angka di atas 70% pada tahun sebelumnya. Salah satu faktor penyebabnya adalah persepsi publik terhadap maraknya pelanggaran etik dan inkonsistensi hukum di tubuh kepolisian.

Kebijakan ini mencerminkan gejala ego sektoral yang berbahaya. Ketika Polri memperluas perannya ke ranah sipil tanpa prosedur yang sah dan tanpa pengawasan memadai, maka ancaman terhadap demokrasi dan supremasi sipil menjadi nyata. Polri berpotensi menjadi super body, lembaga negara yang tidak lagi tunduk pada prinsip checks and balances.

Lebih mengkhawatirkan lagi, tindakan semacam ini bertolak belakang dengan semangat reformasi 1998 dan prinsip democratic policing. Prinsip ini menuntut agar kepolisian profesional, transparan, serta tidak menjadi alat kekuasaan politik.

Polri adalah milik rakyat, bukan alat kekuasaan. Menjaga netralitas dan profesionalisme adalah harga mati bagi demokrasi.

Pengalaman global menunjukkan bahwa ketika kepolisian menjadi alat negara yang tidak terkontrol, hasilnya adalah kekerasan negara terhadap rakyat. Sejarah mencatat peran represif dari SAVAK, polisi rahasia Iran era Shah, yang digunakan untuk membungkam oposisi. Indonesia tidak boleh kembali ke masa kelam ketika aparat penegak hukum menjadi alat penguasa, bukan pelindung rakyat.

Dalam sistem demokrasi, supremasi sipil di atas militer dan kepolisian adalah keniscayaan. Masyarakat sipil, parlemen, dan institusi pengawas perlu memperkuat kontrol terhadap Polri agar lembaga ini tidak menyimpang dari rel konstitusi.

Polri adalah milik rakyat, bukan alat kekuasaan. Menjaga netralitas, profesionalisme, dan integritas adalah harga mati bagi terbangunnya kepercayaan publik dan keberlanjutan demokrasi Indonesia. (#)

*) Pemerhati Intelejen