Editor Indonesia, Jakarta – Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP Persis) mendukung seluruh hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia di Bangka Belitung beberapa waktu lalu. PP Persis mengajak kaum muslimin ikut menerima, menyosialisasikan, mematuhi, dan mempedomani hasil-hasil Ijtima Ulama MUI ke-8 itu.
“Meskipun di Indonesia ini masing-masing ormas memiliki lembaga fatwa, tetapi hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia itu memiliki posisi yang lebih kuat dan lebih otoritatif,” ungkap Ketua Umum PP Persis, Ustadz Jeje Zaenudin dalam keterangannya, Rabu (5/6/2024).
Sebab, jelas Ustadz Jeje, forum Ijtima Ulama tersebut menghimpun para ahli dan para pakar dari berbagai latar belakang, unsur, dan berbagai lembaga fatwa di Indonesia. Dengan demikian, sepatutnya keputusan-keputusan hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia dijadikan rujukan, pedoman, dan panduan pengamalan bagi seluruh kaum muslimin di Indonesia.
“Ini dengan mengenyampingkan serta menahan diri dari opini dan pendapat masing-masing,” ujarnya.
Keputusan Ijtima Ulama tersebut, jelas Ustadz Jeje, lebih mencerminkan representasi dari seluruh unsur dan komponen masyarakat muslim se-Indonesia. Sehingga keputusan tersebut harusnya menjadi kepentingan bersama untuk disosialisasikan, kemudian dilaksanakan, dan dipedomani oleh seluruh kelompok kaum muslimin Indonesia.
“Ini juga dalam rangka menjaga marwah dan kehormatan lembaga fatwa yang memiliki otoritas lebih kuat daripada pendapat individu atau pendapat-pendapat pribadi yang mungkin lebih subjektif,” ucapnya dengan tegas.
Sebagaimana diketahui, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menggelar Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII pada 28-31 Mei 2024 di Pondok Pesantren Bahrul Ulum Islamic Center, Kecamatan Sungai Liat, Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka Belitung.
Ketua SC Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII Prof KH Asrorun Niam Sholeh menyampaikan, kegiatan ini membahas 3 tema besar yang akan menjadi pembahasan.
Ketiga tema itu terkait dengan masalah-masalah kenegaraan (masail asasiyah wathaniyah), masalah fikih dan hukum Islam tematik kontekstual (masail waqi’iyah mu’ashirah) dan masalah hukum dan perundang-undangan (masail qanuniyyah).
Terkait masalah-masalah kenegaraan atau masail asasiyah wathaniyah Prof Niam menjelaskan, akan ada pembahasan mengenai fiqh hubungan antar negara yang membahas mengenai status dan kedaulatan hukum antar bangsa.
Selain itu, kata Prof Niam yang juga Ketua MUI Bidang Fatwa, membahas mengenai sikap yang harus diambil oleh seorang Muslim dan seorang warga negara terhadap saudara yang berbeda negara yang sedang mengalami krisis kemanusiaan, penanganan pengungsian seperti Rohingya dan sejenisnya, tidak bisa hanya didekati dengan pendekatan legal formal semata. Tetapi, perlu didekati dengan pendekatan ukhuwwah insaniyah.
“Dukungan terhadap usaha mewujudkan kemerdekaan setiap bangsa dan keberpihakkan dalam memerangi penjajahan, termasuk kasus yang terjadi di Palestina yang sedang mengalami penjajahan,” kata Prof Niam. (Her)












