Editor Indonesia, Konkep — Isu aktivitas tambang ilegal kembali mengemuka di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep), Sulawesi Tenggara (Sultra). Sebuah video berdurasi dua menit yang beredar di media sosial pada Senin (2/6) pukul 15.00 WITA memperlihatkan kapal tongkang bersandar di dermaga jeti milik PT Gema Kreasi Perdana (GKP) di Desa Roko-Roko. Dalam video itu tampak alat berat dan truk berjejer di pelabuhan, diduga akan dimuat ke kapal.
Wakil Ketua DPRD Konkep, Sahidin, menilai peristiwa ini sebagai bentuk pembangkangan terhadap perintah pemerintah pusat. Menurutnya, sejak 5 Mei 2025, PT GKP telah diperintahkan menghentikan seluruh aktivitas tambangnya. Alat berat yang digunakan di lokasi tersebut bahkan telah disiapkan untuk disita sebagai barang bukti dalam kasus dugaan perusakan lingkungan dan pencurian kekayaan alam negara.
“Ini sudah keterlaluan. Jika aparat dan pemda tidak segera menyita alat-alat berat itu, maka wajar kalau masyarakat mencurigai adanya kongkalikong. Ini bukan hanya kejahatan lingkungan, tapi penghinaan terhadap hukum negara,” ujar Sahidin dalam percakapan telepone dengan redaksi editorindonesia.com, pada Rabu (4/6/2025).
Ia mengklaim bahwa kegiatan tambang di Wawonii telah merugikan negara dan masyarakat hingga ratusan triliun rupiah, terutama karena dilakukan di kawasan hutan lindung dan wilayah pulau kecil yang secara hukum seharusnya terlindungi dari aktivitas ekstraktif.
Namun demikian, pihak PT GKP membantah tudingan tersebut. Hendry Drajat-Manager Strategic Communication PT GKP, menjelaskan bahwa sejak pertengahan Mei 2025, aktivitas produksi tambang memang dihentikan sementara. Namun, alasan penghentian itu adalah bagian dari strategi manajemen risiko internal, bukan karena tekanan atau keputusan eksternal.
“Kami melakukan supervisi dan pengecekan terhadap seluruh alat berat yang kami operasikan di Pulau Wawonii. Ini bagian dari evaluasi rutin menjelang musim penghujan untuk menjamin aspek keselamatan dan kesiapan operasional ke depan,” kata Hendra saat dikonfirmasi redaksi editorindonesia.com.
Ia juga menegaskan bahwa kapal tongkang yang terlihat dalam video bukan milik PT GKP, dan hingga saat ini pihaknya tidak melakukan aktivitas pengapalan dalam bentuk apa pun. “Mohon maaf Mas, itu bukan kapal kami. Sampai hari ini belum ada pengapalan dilakukan oleh GKP,” tambahnya.
Terkait aktivitas lain di luar produksi, seperti program sosial dan pengelolaan lingkungan, Hendra memastikan bahwa kegiatan tersebut tetap berjalan seperti biasa.
Pernyataan pihak PT GKP ditanggapi dingin oleh Sahidin. “Humasnya itu kalau bicara sepuluh kali maka bohongnya sebelas kali,” ucapnya berseloroh.
Sahidin mengaku telah berkomunikasi dengan Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Sultra Irjen Pol Didik Agung Widjanarko terkait masalah ini. “Kita tunggu aparat penegah hukum (APH) bertindak, dari komunikasi saya dengan pak Kapolda Sultra, Polri sudah berkomitmen menegakkan aturan hukum,” kata Sahidin.
Kasus ini kembali menyoroti rumitnya tata kelola pertambangan di daerah-daerah pesisir dan pulau kecil. Di satu sisi, masyarakat dan wakil rakyat lokal menuntut perlindungan lingkungan dan supremasi hukum. Di sisi lain, perusahaan mempertahankan bahwa operasional mereka tetap berada dalam koridor legal dan manajerial.
Kini bola panas berada di tangan pemerintah daerah dan aparat penegak hukum. Jika tidak ada langkah konkret dan transparan, potensi konflik sosial dan ketidakpercayaan publik terhadap institusi negara bisa semakin membesar. (Her)