Editor Indonesia, Jakarta – Pengamat kebijakan publik Sugiyanto, yang akrab disapa SGY–Emik, menyampaikan kritik tajam terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024. Menurutnya, keputusan MK tersebut bukan hanya memicu kontroversi, tetapi juga berpotensi merusak sendi-sendi demokrasi lokal di Indonesia.
“Saya tidak ingin lagi berdebat soal apakah putusan MK ini melanggar konstitusi atau tidak,” ujar SGY dalam pernyataan tertulisnya, Sabtu (5/7/2025). “Para hakim MK tentu paham secara mendalam isu ini dan pasti memiliki argumen logis untuk membantah kritik yang ada. Namun, dampaknya terhadap demokrasi tetap perlu dikritisi,” lanjutnya.
SGY mengaku awalnya lebih fokus pada isu-isu lokal, khususnya di DKI Jakarta. Namun, polemik yang ditimbulkan oleh Putusan MK No. 135 mendorongnya untuk angkat suara karena menilai implikasinya sangat fundamental.
Ia sebelumnya juga telah menuliskan analisis berjudul “MK Bak ‘Anak Macan’ yang Menggigit Induknya (DPR/MPR) Sendiri? Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024: Solusi Reformasi atau Masalah Baru?”. Dalam artikel itu, SGY memaparkan lima alasan yang menjadi dasar penolakannya terhadap putusan tersebut. Salah satu poin penting yang kini ia soroti lebih dalam adalah potensi perampasan kedaulatan rakyat.
“Pemisahan antara pemilu nasional dan pemilu lokal untuk memilih anggota DPRD serta kepala daerah merupakan kombinasi yang berbahaya. Kebijakan ini berpotensi melumpuhkan kontrol demokratis rakyat terhadap pemerintah,” tegas SGY.
Ia menilai, pemisahan pemilu ini secara tidak langsung membuka peluang perpanjangan masa jabatan kepala daerah dan anggota DPRD—bahkan penjabat kepala daerah—tanpa melalui pemilihan langsung.
“Putusan ini pada akhirnya bisa menjadi bentuk konstitusionalisasi jabatan tanpa mandat rakyat. Secara legal dan formal sah, tapi substansinya justru mencederai demokrasi. Ini bertentangan dengan prinsip dasar bahwa rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi,” lanjutnya.
SGY mengingatkan bahwa Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada 26 Juni 2025 membuka celah bagi kekuasaan yang tidak memiliki legitimasi elektoral.
“Ini bukan sekadar keputusan hukum, tapi keputusan politik yang sangat memengaruhi arah demokrasi kita. Apalagi, keputusan ini datang tanpa proses konsultasi publik yang memadai,” ujarnya.
Meski mengakui bahwa putusan tersebut mungkin dilandasi niat baik, seperti memperbaiki sistem pemilu dan ketatanegaraan, SGY menilai cara yang diambil justru kontraproduktif.
“Perbaikan seharusnya dilakukan secara bertahap dan sistematis, bukan lewat keputusan yang menimbulkan polemik besar dan membuka ruang bagi kecurigaan politik. Kalau begini caranya, ini bukan solusi reformasi, tapi justru masalah baru yang sulit, rumit, ruwet dan bikin mumet,” sindirnya.
Di akhir pernyataannya, SGY menekankan pentingnya semua elemen bangsa—terutama DPR, pemerintah, dan partai politik—untuk tidak tinggal diam. Ia berharap ada langkah politik dan hukum yang bijak dalam merespons putusan tersebut.
“Situasi ini sudah cukup membuat banyak pihak pusing tujuh keliling. Jika tidak ditanggapi dengan serius, krisis legitimasi bisa menjadi bom waktu bagi demokrasi kita,” pungkasnya. (Jio)