Hukum

Putusan MK Pisahkan Pemilu dan Pilkada, DPR Soroti Potensi Pelanggaran UUD 1945

×

Putusan MK Pisahkan Pemilu dan Pilkada, DPR Soroti Potensi Pelanggaran UUD 1945

Sebarkan artikel ini
Putusan MK Pisahkan Pemilu dan Pilkada, DPR Soroti Potensi Pelanggaran UUD 1945
Seniman senior Eko Tunas membawakan monolog bertajuk “Gonggoman Brayan” saat silatirahmi dengan Anggota DPR Komisi II DPR RI Wahyudin Noor Aly, di Tegal./dok.Editor Indonesia-Supar
Putusan MK Pisahkan Pemilu dan Pilkada, DPR Soroti Potensi Pelanggaran UUD 1945

Editor Indonesia, Tegal – Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan Pemilu dengan Pilkada, masih disorot banyak pihak. Tak terkecuali di kalangan anggota DPR RI. Salah satunya, anggota DPR RI Komisi II, Wahyudin Noor Aly. Dia menuturkan keputusaan MK itu memang mengejutkan termasuk rekan-rekan di DPR RI. Keputusan MK itu hampir sama dengan pelaksanaan Pemilu sebelumnya, lebih tepatnya saat Pemilu 2024 lalu.

“Pada Pemilu 2024 itu kan rakyat memilih lima kali. Sehingga KPU RI saat itu merancang Pemilu ke depan dua kali, hampir sama dengan putusan MK, hanya basisnya yang berbeda,” ujar Wahyudin, saat menghadiri pembukaan kegiatan sosialisasi pengawas partisipatif di Hotel Premiere Tegal, Jawa Tengah, dikutip Senin 7 Juli 2025.

Wahyudin menyebut dulu basisnya pemisahan kekuasaan antara legislatif dan eksekutif. Sehingga usulannya, saat itu adalah Pemilu eksekutif yakni Presiden, Gubernur dan Bupati seta Pemilu legislatif yakni anggota DPR dan DPRD.

“Namun, proses itu tidak berjalan dan pelaksanaan Pemilu terus berkembang hingga muncul Pemilu serentak. Pemisahannya, Pemilu Presiden dan Anggota DPR RI jadi satu sesion dan selanjutnya Kepala daerah,” terang Wahyudin.

Wahyudin berpandangan semua Pemilu itu ideal, hanya saja yang perlu diperhatikan adalah agar rakyat tidak terlalu banyak memilih. Selain itu, juga perlu melihat isi dari Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur Pemilu itu setiap 5 tahun sekali.

Putusan MK Pisahkan Pemilu dan Pilkada, DPR Soroti Potensi Pelanggaran UUD 1945

“Keputusan MK kemarin langsung di-endorse, untuk Pemilu Nasional yakni pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR RI dan Anggota DPD RI pada 2029. Kemudian ada Pemilu Lokal atau daerah yang terdiri dari pemilihan gubernur, wali kota dan anggota DPRD dua tahun setelahnya atau pada 2031,” terang Wahyudin.

Wahyudin memaparkan yang menjadi persoalan adalah ketika Pemilu daerah diputuskan mundur 2 tahun setelah Pemilu Nasional. Itu, artinya 7 tahun dari Pemilihan Kepala Daerah 2024, padahal di Undang-Undang Dasar diatur Pemilu itu 5 tahun sekali.

“Inilah yang sedang dikaji teman-teman di bagian hukum, apakah menabrak UUD 45 ataukah nantinya akan direvisi. Mungkin basisnya seperti keputusan MK, yakni Pemilihan Kepala daerah tetap 5 tahun tapi pelaksanaannya tidak di 2029 tetapi di 2031 jadi bukan diundur,” jelasnya.

Lanjut Goyud—sapaan Wahyudin Nooraly–keputusan MK No.135 baru saja dibuat, sehingga, perjalanannya masih panjang dan mungkin saja bisa terjadi dinamisasi.

“Namun, yang terpenting Pemilu harus simpel dan tidak membuang anggaran,” jelas Goyud.

Dalam kesempatan ini, komisioner Bawaslu Provinsi Jawa Tengah Divisi Humas, Data dan Informasi, Sosiawan, menyampaikan lembaganya merupakan pelaksana undang-undang. Jika sekarang MK memutuskan untuk memisahkan Pemilu Nasional dan Daerah maka pihaknya masih menunggu.

“Kita belum tahu, undang-undangnya seperti apa? Pemerintah dan DPR sedang mempelajari putusan MK. Sehingga kami belum bisa menentukan sikap apapun. Saat ini kita masih menunggu,” ujar Sosiawan.

Sosiawan menyebut bagi Bawaslu pengawasan partisipatif adalah pelibatan masyarakat dalam mengawasi Pemilu maupun Pemilihan. Bawaslu tidak bisa berperan maksimal jika masyarakat tidak terlibat.

“Karena SDM terbatas, dananya terbatas sehingga perlu partisipasi aktif masyarakat untuk mewujudkan Pemilu berkualitas, transparan dan bermartabat. Sehingga hasilnya yang berkualitas dan bisa diterima masyarakat karena prosesnya berkualitas dan bermartabat,” jelas Sosiawan.

Dalam kegiatan sosialisasi pengawas partisipatif itu juga ada pentas teaterikal berupa monolog bertajuk “Gonggoman Brayan”, oleh seniman senior Eko Tunas, dan pembacaan puisi oleh Fayza Alya Nadiva.

Budayawan Pantura, Atmo Tan Sidik, menyebut menyampaikan satu pesan tidak sekadar dengan logika dan etika tapi juga estetika melalui sastera.

“Persoalan kita sekarang adalah bagaimana memadukan antara seniman dengan birokrat untuk saling bersinergi dalam menyampaikan suatu pesan seperti dalam sosialisasi pengawasan partisipatif terkait Pemilu dan Pileg,” ujar Atmo Tan Sidik. (Sup)

Baca Juga: Putusan MK dan Ancaman Kedaulatan Rakyat: Melawan atau Melapor?