Oleh: Hengki Seprihadi*
Sudah lima tahun berlalu sejak restrukturisasi Pertamina menjadi holding dan subholding dijalankan. Saya ingat betul bagaimana pada 2020, kebijakan ini diluncurkan dengan semangat tinggi dan janji-janji manis. Menteri BUMN dan manajemen Pertamina saat itu meyakinkan publik bahwa langkah ini akan membawa efisiensi, mempercepat agility bisnis, membuka peluang IPO, dan meningkatkan valuasi perusahaan.
Namun hari ini, saya harus mengatakan secara terbuka: semua janji itu terbukti palsu.
Kabar terbaru tentang rencana reintegrasi sebagian bisnis Pertamina di sektor hilir (downstream) bukanlah isapan jempol. Ini adalah alarm serius. Bahkan, saya menyebutnya sebagai pengakuan terbuka atas kegagalan kebijakan yang sejak awal sudah kami peringatkan. Bagi kami di Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), ini bukan hal mengejutkan. Justru kami bertanya: mengapa baru sekarang menyadari kegagalan ini?
Luka Besar di Tubuh Pertamina
Fakta-fakta yang ada menunjukkan betapa dalam luka yang ditimbulkan oleh kebijakan restrukturisasi ini. Kasus hukum yang menyeret sejumlah direksi di anak dan subholding Pertamina menjadi bukti buruknya tata kelola pasca-unbundling. Berdasarkan penyidikan Kejaksaan Agung, negara diduga mengalami kerugian sebesar Rp193,7 triliun dalam periode 2018–2023.
Tak cukup sampai di sana, kegagalan suplai LNG di PT PGN Tbk dan kontrak merugikan dengan Gunvor Singapore Pte Ltd mengindikasikan kerugian tambahan sekitar Rp1,5 triliun. Ini bukan angka yang bisa disepelekan. Ini adalah kerugian rakyat.
Konsultan Gagal, Uang Terbuang
Yang lebih membingungkan, manajemen Pertamina kini kembali menunjuk konsultan lama—PwC dan McKinsey—yang sebelumnya digunakan saat restrukturisasi dilakukan. Padahal, rekam jejak mereka justru menjadi bagian dari persoalan. Bagi saya, ini bukan hanya pemborosan, tapi juga berpotensi masuk ranah korupsi.
Bukankah kita memiliki banyak ahli manajemen dan energi dari kampus-kampus terbaik di negeri ini—UI, ITB, UGM, ITS, Airlangga, USU—yang bisa dilibatkan untuk proses evaluasi dan perbaikan?
Kekhawatiran yang Terbukti Nyata
Sejak awal, FSPPB sebagai federasi pekerja Pertamina sudah menyuarakan keberatan. Kami di CERI sepakat dengan tujuh kekhawatiran mereka: mulai dari ancaman terhadap kedaulatan energi nasional, potensi privatisasi terselubung, hingga celah transfer pricing antarsubholding.
Kini, kekhawatiran itu bukan lagi asumsi. Sudah terbukti. Masuknya NYK sebagai pemegang saham di anak usaha Pertamina International Shipping adalah bukti nyata bahwa kedaulatan energi perlahan dilepas ke pihak asing.
Dugaan Cawe-Cawe dan Kepentingan di Balik Kebijakan
Lebih jauh, publik juga layak tahu bahwa isu cawe-cawe oleh keluarga Menteri BUMN—Erick dan Boy Thohir—serta peran “Mister James” dalam pengaturan jabatan di subholding Pertamina sudah lama beredar. Tak ada klarifikasi. Justru diam seolah membenarkan. Apalagi dengan munculnya dugaan pemberian diskon harga solar industri kepada PT Adaro Minerals yang merugikan Pertamina hingga Rp9,3 triliun. Di titik ini, rakyat pantas merasa dikhianati.
Presiden Harus Bertindak
Kami di CERI, bersama FSPPB, menyatakan bahwa inilah saatnya negara mengambil sikap. Kami mendorong Presiden Prabowo Subianto untuk mengevaluasi kebijakan ini secara menyeluruh, termasuk meninjau posisi Menteri BUMN demi kepentingan nasional.
Kami tidak anti perubahan. Tapi perubahan harus berdasarkan akal sehat, niat baik, dan keberpihakan pada konstitusi. Reintegrasi Pertamina bukan sekadar pembalikan kebijakan, tapi langkah penyelamatan atas aset strategis bangsa.
Karena bagi kami, Pertamina bukan sekadar perusahaan energi. Ia adalah penjaga hajat hidup orang banyak.
*) Sekretaris Eksekutif CERI











