Opini

Revisi UU BUMN 2025: Rakyat Kehilangan Hak Kepemilikan, Privatisasi Mengancam

×

Revisi UU BUMN 2025: Rakyat Kehilangan Hak Kepemilikan, Privatisasi Mengancam

Sebarkan artikel ini
Revisi UU BUMN 2025: Rakyat Kehilangan Hak Kepemilikan, Privatisasi Mengancam
Suroto/dok.pribadi
Revisi UU BUMN 2025: Rakyat Kehilangan Hak Kepemilikan, Privatisasi Mengancam

Oleh: Suroto*

Saat ini publik tengah menyoroti Revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga UU Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) di Parlemen. Namun, pembahasan yang berlangsung dinilai belum menyentuh persoalan paling mendasar, yakni soal kepemilikan BUMN.

Sejak diberlakukannya UU No. 1 Tahun 2025, terjadi perombakan fundamental terhadap hak kepemilikan BUMN. Hak rakyat atas BUMN hilang, digantikan dengan kewenangan penuh Presiden untuk mengalihkan kepemilikan melalui mekanisme privatisasi, diswastanisasi, maupun penyerahan (inbreng) kepada pihak lain. Pasal 3A ayat 2 UU BUMN secara tegas memberi kewenangan mutlak itu. Artinya, rakyat dipersonifikasikan hanya sebagai penonton, sementara kepemilikan sah dialihkan kepada pemerintah.

Dampaknya, berbagai problem turunan seperti berkurangnya kewenangan pengawasan, imunitas pejabat, ketidakadilan struktur gaji, hingga potensi moral hazard sebenarnya bermuara pada masalah kepemilikan. Sebab, kuasa kepemilikan adalah sumber lahirnya kewenangan dan arah pengambilan keputusan BUMN. Seharusnya, tujuan BUMN adalah menguntungkan rakyat, bukan elite apalagi pihak asing.

Padahal, Pasal 33 UUD 1945 menegaskan cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat. “Dikuasai” bermakna hak kelola, bukan hak milik. Kepemilikan tetap ada pada rakyat, bukan pemerintah.

Hal ini diperkuat pula oleh Pasal 1 ayat 2 UUD NRI 1945 yang menyatakan kedaulatan berada di tangan rakyat. Maka, BUMN semestinya tetap milik rakyat, sementara pemerintah hanya berfungsi sebagai pengelola.

Situasi makin berbahaya dengan hadirnya BPI Danantara—lembaga pelaksana yang diberi kewenangan menjual (divestasi), mengurangi saham (dilusi), atau membubarkan (likuidasi) BUMN tanpa persetujuan rakyat. Model ini menggeser tujuan BUMN dari untuk kesejahteraan publik menjadi kepentingan elite dan bahkan asing.

Akibatnya, rakyat berpotensi semakin terbebani. Misalnya, bunga pinjaman PT PNM untuk masyarakat miskin yang menyerupai praktik rentenir, tarif angkutan umum yang makin mahal, serta lonjakan tarif listrik dan gas.

Lebih jauh, Pasal 1 ayat 3 dan Pasal 2 ayat 1 UU BUMN menegaskan bahwa tujuan utama BUMN adalah mengejar keuntungan. Hal ini jelas bertentangan dengan mandat konstitusi. Jika BUMN mengejar laba, maka rakyat—pemilik sah—justru yang diperas.

Selain itu, kewenangan privatisasi dibuka lebar melalui Pasal 72A hingga 85, yang mengatur penjualan saham, right issue, hingga divestasi ke pihak asing. Ironisnya, proses privatisasi justru ditutup rapat dengan ancaman pidana bagi pihak yang membocorkan informasi. Transparansi pun semakin jauh dari praktik tata kelola sehat.

Solusi: Demokratisasi BUMN

Jalan keluar dari kekacauan ini adalah demokratisasi BUMN. Kepemilikan harus dikembalikan ke rakyat, bukan Presiden. Aset negara wajib diakui sebagai milik rakyat dengan akta saham yang sah, sementara pemerintah bertugas sebagai pengelola.

Revisi UU BUMN 2025: Rakyat Kehilangan Hak Kepemilikan

Dengan model ini, rakyat memiliki hak mengawasi dan menentukan arah kebijakan. Demokratisasi menjamin BUMN lebih transparan, berpihak pada kebutuhan publik, serta terhindar dari kepentingan elite maupun kreditor asing.

Revisi UU BUMN terbaru jelas bertentangan dengan UUD 1945. Kita tidak boleh membiarkan aset publik bernilai ribuan triliun jatuh ke tangan asing dengan dalih privatisasi. BUMN adalah milik rakyat. Mengembalikannya berarti memulihkan kedaulatan bangsa sekaligus menghidupkan kembali semangat demokrasi ekonomi yang diwariskan para pendiri republik.

Revisi UU BUMN 2025: Rakyat Kehilangan Hak Kepemilikan

Revisi ini bukan sekadar salah arah, tetapi bentuk nyata perampasan kedaulatan rakyat. Cita-cita sebesar-besar kemakmuran rakyat yang dijanjikan konstitusi telah tergerus, tinggal slogan belaka.

*) Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)