Editor Indonesia, Jakarta – Pernyataan Kapuspenkum Kejaksaan Agung Harli Siregar SH yang menyebut Mochamad Reza Chalid “masih dalam pantauan” menimbulkan lebih banyak pertanyaan ketimbang jawaban. Di tengah sorotan publik atas dugaan korupsi sistemik dalam tata kelola minyak dan produk BBM di Pertamina, kejelasan soal status Reza Chalid—figur lama yang dijuluki “Mister Gasoline”—justru semakin kabur.
Pada Kamis (5/6/2025), Harli mengatakan pihaknya memantau Reza dengan berbagai sarana dan kerja sama lintas lembaga. Namun, ia tidak mengungkap kapan dan bagaimana Reza akan dipanggil untuk dimintai keterangan. “Kami monitor,” ujarnya singkat.
Padahal, jika merujuk pada logika penegakan hukum yang transparan dan menyeluruh, keterlibatan Reza Chalid—setidaknya sebagai saksi penting—hampir tak terhindarkan. Dalam kasus dugaan korupsi yang kerugiannya diklaim pernah mencapai angka fantastis Rp1 kuadriliun, walau kini dikoreksi menjadi Rp193,7 triliun (periode 2018–2023), posisi Reza dalam ekosistem bisnis migas patut dikaji lebih dalam.
Mengapa Riza Tak Kunjung Dipanggil?
Menurut Yusri Usman, Direktur Eksekutif CERI (Center of Energy and Resources Indonesia), publik sudah lama menanti sikap tegas Kejagung. Bagi Yusri, indikator keseriusan penegakan hukum bukan hanya pada jumlah tersangka, tapi juga keberanian untuk menyeret nama-nama besar yang selama ini dianggap “untouchable” alias tidak tersentuh hukum.
“Kalau hanya berhenti di level operator, publik akan menilai ini hanya pengalihan isu,” tegas Yusri, menjawab editorindonesia.com, pada Sabtu (7/6/2025). Ia menambahkan, dugaan keterlibatan sejumlah figur penting dengan inisial ET, BT, MRC, dan HR semakin ramai diperbincangkan di media sosial, tapi belum direspon serius oleh penegak hukum.
Mister Gasoline dan Kunjungan Senyap ke Indonesia
Isu lain yang menambah kompleksitas adalah informasi yang menyebut Reza Chalid sempat masuk ke Indonesia secara diam-diam sekitar 12 Mei 2025, bertepatan dengan libur panjang. Tujuannya diduga untuk menemui pihak tertentu. Kejagung sejauh ini belum mengonfirmasi kabar tersebut.
“Jika informasi itu benar, maka pertanyaannya: apakah pemantauan Kejagung selama ini efektif? Dan jika iya, mengapa tidak ada tindak lanjut yang konkret?” ujar Yusri.
Peran Pemain Tengah dan Hambatan Eksternal
Kejagung juga dituding belum maksimal dalam menggali peran “pemain tengah” seperti “mister James” dan kawan-kawan yang diduga menjadi penghubung antara sembilan tersangka dan pihak-pihak yang lebih tinggi. Kesimpulan ini bukan tanpa dasar: hingga kini, belum ada pernyataan resmi yang menjelaskan peran jaringan perantara ini.
Di sisi lain, tantangan eksternal juga mencuat. Tim Pidana Khusus Kejagung yang bertugas di Singapura terpaksa memperpanjang masa tugasnya karena dari sembilan perusahaan asing mitra PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), baru tiga yang bersedia memberikan keterangan langsung, dan dua lainnya menjanjikan akan memberikan keterangan secara daring.
Kesembilan perusahaan yang tergabung dalam Daftar Mitra Usaha Terdaftar (DMUT) adalah:
BP Singapore PTE LTD
Glencore Singapore PTE LTD
Freepoint Commodities PTE
Mitsui & Co Energy Trading
PTT International Trading
Vitol Asia PTE LTD
Socar Trading Singapore PTE LTD
Woodside Energy Trading Singapore
Total Trading Asia PTE LTD
Surat undangan resmi dari Kejagung bertanggal 23 Mei 2025, ditandatangani oleh Direktur Penyidikan Dr Abdul Qohar AF atas nama Jampidsus.
Momentum atau Pembiaran?
Jika nama-nama yang diduga kuat berada di balik skema korupsi ini tidak disentuh, Kejagung bisa kehilangan kepercayaan publik. Lebih dari itu, penegakan hukum bisa terjebak dalam pola “selective justice” yang hanya menyentuh permukaan.
Momentum ini adalah ujian integritas dan keberanian Kejagung. Di tengah krisis kepercayaan terhadap elite hukum dan bisnis, publik hanya menuntut satu hal: keadilan yang tak tebang pilih. “Itulah yang harus bisa dijawab oleh Kejagung,” tutup Yusri. (Har)
Baca Juga: Korupsi Minyak Pertamina Rp193 T: Kejagung Periksa 5 Perusahaan di Singapura