Editor Indonesia, Jakarta – Sejumlah media arus utama nasional pada Rabu (1/10/2025) menurunkan berita berjudul “MDIS Konfirmasi Gibran Berkuliah di Singapura, Sabet Gelar Sarjana” bisa dibaca lengkap di URL nasional.kompas.com/read/2025/10/01/14164451/mdis-konfirmasi-gibran-berkuliah-di-singapura-sabet-gelar-sarjana. Namun, menurut pengamat telematika dan komunikasi, Roy Suryo, berita ini justru menimbulkan tanda tanya besar lantaran tidak memenuhi standar jurnalistik yang semestinya.
“Berita itu terasa janggal. Meskipun panjang lebar memuat pernyataan, tidak ada satu pun nama pejabat resmi MDIS (Management Development Institute of Singapore) yang disebut. Media mainstream memuatnya seperti press release tanpa verifikasi,” kritik Roy.
Tidak Memenuhi Prinsip 5W+1H
Roy menegaskan, inti permasalahan ada pada kelengkapan unsur dasar berita, yakni 5W+1H (Who, What, When, Where, Why, How). Prinsip ini bukan sekadar teori, melainkan pilar profesionalisme jurnalistik.
“Dalam berita MDIS, unsur Who tidak jelas. Hanya disebut ‘MDIS’ tanpa nama pejabat yang memberi pernyataan. Unsur When dan Why juga tidak terpenuhi. Pembaca tidak tahu kapan pernyataan itu dibuat dan apa alasannya. Padahal, tanpa ini, berita tidak bisa disebut lengkap,” ujarnya.
Roy menambahkan, kekosongan tersebut menjadikan berita berpotensi misleading dan melanggar etika pers. Menurutnya, Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik Dewan Pers secara tegas menyebut wartawan wajib menyebutkan identitas narasumber, kecuali ada alasan kuat untuk merahasiakannya.
“Jika hanya menyebut lembaga tanpa nama pejabat atau juru bicara, itu bukanlah pernyataan resmi yang sahih. Media mestinya menulis minimal jabatan atau nama yang bertanggung jawab, misalnya Presiden MDIS Dr. Eric Kuan atau Dekan Dr. R. (Rajanayagam) Darwin Joseph,” kata Roy.
Sejarah 5W+1H dan Piramida Terbalik
Sebagai latar, Roy mengingatkan bahwa prinsip 5W+1H sudah berakar sejak retorika klasik Aristoteles, dikembangkan Cicero dan Quintilian, hingga akhirnya diformulasikan modern oleh Walter Lippmann pada abad ke-20.
“Dalam tradisi jurnalistik, dikenal struktur inverted pyramid (piramida terbalik). Semua unsur 5W+1H harus ada di paragraf awal, supaya pembaca mendapat inti berita. Kalau tidak terpenuhi, berita jatuh pada kategori kabur, tidak kredibel, bahkan bisa disebut hanya opini institusi,” tegasnya.
Kredibilitas MDIS Dipertanyakan
Lebih lanjut, Roy menyinggung kredibilitas kampus MDIS sendiri. Meski berdiri sejak 1956 dan berganti nama pada 1984, saat ini MDIS hanya berada di peringkat 46 dari 55 kampus swasta di Singapura.
“Nama MDIS bahkan tidak muncul dalam pemeringkatan QS maupun THE. Di media sosial, kampus ini malah jadi bahan olok-olokan karena ranking-nya jauh di bawah Universitas Papua (Unipa). MDIS ada di urutan 17.436, sementara Unipa di peringkat 11.814,” papar Roy.
Ijazah dan Syarat Konstitusi
Roy menilai berita MDIS justru menambah keraguan publik soal keabsahan ijazah Gibran. Pasalnya, selain kuliah di Singapura yang masih kontroversial, penyetaraan ijazah SMA pun dipertanyakan.
“Ini penting karena Pasal 169 huruf r UU Pemilu No. 7/2017 jelas mensyaratkan pendidikan minimal SMA/SMK/MA sederajat bagi calon presiden atau wakil presiden. Netizen +62 selama ini aktif membongkar kejanggalan pendidikan Gibran. Jadi wajar jika muncul tagar #AdiliJkW dan #MakzulkanFufufafa,” pungkas Roy. (Nay)