Editor Indonesia, Jakarta – Di jantung Kalimantan, ketika suara gergaji dan mesin tambang makin menelan hutan-hutan tua, masyarakat adat Dayak justru kian tersisih dari tanah yang mereka jaga turun-temurun.
Di tengah arus kebijakan yang sering menafikan kearifan lokal, suara perlawanan muncul dari Jakarta—dari seorang mantan Menteri Lingkungan Hidup, Dr. Sony Keraf. Ia menyerukan agar perhutanan sosial tidak hanya bagi-bagi lahan, melainkan dibarengi pemberdayaan lewat sekolah lapang yang mampu mengembalikan martabat dan ekonomi masyarakat adat.
Menurut Dr. Sony Keraf, yang juga pakar etika lingkungan, program perhutanan sosial pemerintah harus berjalan seiring dengan pemberdayaan masyarakat adat.
“Perhutanan sosial tidak cukup hanya bagi-bagi lahan. Masyarakat harus diberi bekal keterampilan melalui sekolah lapang agar bisa mengelola hutan secara berdaya guna dan berkelanjutan,” ujar Sony di Jakarta, Minggu (5/10/2025).
LPDN Dorong Penguatan Kelembagaan dan Sekolah Lapang
Pernyataan tersebut disampaikan Sony dalam forum Rapat Kerja Nasional (Rakernas) III dan Lokakarya Nasional (Loknas) 2025 yang diselenggarakan Lembaga Perempuan Dayak Nasional (LPDN).
Diskusi bertema “Penguatan Kelembagaan Masyarakat di Dalam dan di Sekitar Hutan” ini juga menghadirkan narasumber seperti Prof. Meutia Hatta (antropolog UI), Julmansyah dari Kementerian Kehutanan, serta Adian Napitupulu (anggota DPR RI).
Sony menilai, kebijakan yang melarang praktik ladang berpindah, mendulang emas, atau mengambil kayu secara terbatas justru menghapus sumber penghidupan masyarakat adat.
“Kebijakan seperti itu menggerus cara hidup masyarakat Dayak yang selama ini menjaga keseimbangan alam,” tegasnya.
54 Unit Hutan Adat di Kalimantan dan Peran Perempuan
Dalam kesempatan yang sama, Julmansyah, Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA), menyebutkan bahwa di Kalimantan terdapat 54 unit hutan adat dengan luas sekitar 195.000 hektare yang tersebar di 11 kabupaten.
“Penetapan hutan adat diharapkan menjamin kehidupan masyarakat adat. Kami juga mendorong perempuan terlibat dalam pengelolaan potensi hutan,” ujarnya.
Sekolah Lapang untuk Kemandirian Ekonomi Perempuan Dayak
LPDN, yang berada di bawah Majelis Adat Dayak Nasional (MADN), aktif mengembangkan program sekolah lapang Dayak sebagai model pendidikan ekologi berbasis komunitas.
Peserta sekolah lapang terdiri dari perempuan dan kaum muda yang dibekali keterampilan di bidang pertanian, perkebunan, peternakan, serta budidaya ikan.
Ketua Umum LPDN, Ir. Nyelong Inga Simon, menjelaskan bahwa lulusan sekolah lapang dapat memperoleh akses pendanaan dari koperasi, perbankan, atau lembaga mitra pemerintah.
“Dengan kemampuan produktif, masyarakat Dayak bisa mandiri secara ekonomi dan tetap menjaga kelestarian hutan adat,” ujarnya.
Sekolah Lapang Dayak, Harapan Baru dari Hutan Kalimantan
Melalui pendekatan sekolah lapang Dayak, LPDN dan para tokoh lingkungan berharap masyarakat adat tak lagi menjadi penonton di tanah sendiri. Mereka diharapkan menjadi pelaku utama dalam menjaga sekaligus menghidupi hutan, dengan cara yang tetap berpihak pada alam dan kearifan lokal.
Sony Keraf menegaskan, pemberdayaan berbasis pendidikan lapangan adalah langkah paling strategis untuk menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan kelestarian ekologi.
“Sekolah lapang adalah jalan menuju kemandirian masyarakat adat dan kelestarian bumi Kalimantan,” pungkasnya. (Did)
Baca Juga:Rakernas III LPDN 2025: Perempuan Dayak Jadi Motor Pemberdayaan Hutan