Editor Indonesia, Jakarta – Senator atau anggota DPRD DKI Jakarta, Astrid Kuya, melontarkan kritik tajam terhadap pelayanan kesehatan di Ibu Kota yang dinilainya masih belum optimal, khususnya terkait ketersediaan alat mamografi di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD).
Pernyataan itu disampaikan saat rapat kerja Komisi E DPRD DKI Jakarta dalam rangka pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Perubahan 2025. Rapat yang berlangsung di ruang Komisi E, Gedung DPRD Jakarta, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Senin (7/7/2025), dihadiri pejabat Dinas Kesehatan DKI serta jajaran direksi RSUD.
Dalam rapat tersebut, Astrid mempertanyakan RSUD mana saja di Jakarta yang sudah memiliki fasilitas mamografi. Ia mencontohkan keluhan seorang warga dari daerah pemilihannya, Menteng Atas, yang harus dirujuk ke RS Fatmawati hanya untuk menjalani pemeriksaan mamografi.
“Kemarin ada warga dari dapil saya yang harus jalan jauh ke Fatmawati untuk mamografi. Tapi ternyata alatnya rusak. Kenapa tidak diarahkan ke RSUD lain yang memiliki fasilitas tersebut?” ujar Astrid dengan nada tinggi.
Ia menilai lemahnya koordinasi antar-RSUD dan kurangnya informasi yang diberikan kepada pasien menjadi hambatan besar dalam pelayanan kesehatan. Menurutnya, jika koordinasi lebih baik, warga tak perlu dirujuk jauh-jauh apalagi hanya untuk menemukan bahwa peralatannya tidak berfungsi.
“Saya tanya, apakah benar cuma RS Fatmawati yang punya mamografi? Sampai sana rusak, lalu pasien tidak tahu harus ke mana. Ini bukti tidak adanya komunikasi antar fasilitas kesehatan,” tegasnya.
Pasien BPJS Kelas I Terpaksa Bayar VIP
Kritik terhadap layanan kesehatan di Jakarta juga datang dari seorang warga yang diwawancarai editorindonesia.com. Ia menceritakan pengalaman keluarganya, seorang pensiunan guru PNS dengan BPJS Kelas I, yang harus membayar biaya kamar VIP sebesar Rp600.000 per hari di RSUD Cengkareng agar bisa mendapatkan perawatan lebih cepat.
Padahal, menurutnya, hak pasien seharusnya dipenuhi sesuai kelas BPJS tanpa paksaan untuk naik kelas. “Kalau ikut prosedur, kami diancam dipindahkan ke RSUD lain yang jaraknya lebih jauh, seperti Kramat Jati atau Tanjung Priok, padahal rumah kami di Cengkareng,” ungkapnya.
Pasien itu juga mengungkapkan bahwa ruang IGD RSUD di Jakarta seringkali menjadi tempat ‘parkir’ pasien BPJS dari berbagai kelas yang tidak mendapat kamar rawat inap. Mereka hanya diberi infus dan harus menunggu hingga berminggu-minggu.
“Kami mohon kepada DPRD DKI Jakarta, khususnya Komisi E, agar turun langsung tanpa pemberitahuan untuk melihat sendiri kondisi IGD. Banyak pasien hanya diberi infus, tanpa kepastian kapan dirawat,” ujarnya sambil meminta identitasnya tidak disebutkan.
Permintaan Investigasi Pelayanan RSUD
Kondisi ini memperkuat desakan agar Komisi E DPRD Jakarta melakukan investigasi mendalam terhadap pelayanan di seluruh RSUD. Permasalahan ini bukan hanya soal fasilitas kesehatan yang tidak merata, tetapi juga soal keadilan dan kepatuhan terhadap hak pasien, terutama mereka yang menggunakan BPJS.
Rakyat Jakarta berharap adanya langkah nyata dari para wakil rakyat untuk membenahi sistem layanan kesehatan yang masih menyisakan banyak masalah, baik dari sisi teknis, manajerial, hingga kemanusiaan. (Sar)