Pemberantasan korupsi di Indonesia kembali diuji lewat kasus mega korupsi Pertamina yang merugikan negara hingga Rp285,7 triliun. Dari pengakuan tekanan politik terhadap Karen Agustiawan, jejak makelar kasus yang dekat dengan Moch Riza Chalid, hingga dugaan intervensi dua tokoh nasional era SBY—semua membuka tabir gelap bisnis minyak dan politik di tubuh BUMN energi terbesar negeri ini.
Editor Indonesia, Jakarta — Pemberantasan korupsi di Indonesia ibarat mengejar maling di kampung maling. Penegak hukum terlihat getol memburu para koruptor, namun di balik semangat itu, terselip godaan untuk ikut “kecipratan uang haram”. Upaya pemberantasan korupsi pun kerap menjadi sekadar kosmetika hukum — tampak tegas di permukaan, namun lembek ketika menyentuh akar persoalan.
Kasus mega korupsi di tubuh Pertamina, menurut pemerhati intelijen Sri Radjasa, MBA, menjadi contoh paling mutakhir. Penegakan hukum baru menyentuh puncak gunung es, sementara otak pelaku utama diduga masih bebas “berenang” di atas undang-undang. Faktor politik dan kepentingan kekuasaan diduga kuat mengaburkan arah keadilan.
Dugaan Jejak Markus dan Tekanan Politik
Sumber internal, lanjut Sri Rajasa, menyebut adanya peran makelar kasus (markus) yang terendus beberapa kali bertemu dengan pengusaha minyak, Moch Riza Chalid (MRC), di sebuah hotel di Kuala Lumpur. Pertemuan itu berlangsung sebelum MRC ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).
Kasus yang disidik sejak Oktober 2024 itu kini memasuki babak baru melalui persidangan mantan Dirut Pertamina, Karen Agustiawan, pada 27 Oktober 2025. Dalam sidang, Karen mengaku mendapat tekanan dari dua tokoh nasional agar “memperhatikan perusahaan MRC dan anaknya, Kerry.”
Pertemuan tersebut terjadi saat menghadiri resepsi pernikahan kerabat di Hotel Dharmawangsa, Kebayoran Baru. Namun majelis hakim tidak menggali lebih lanjut siapa dua tokoh nasional itu. Berdasarkan hasil investigasi, dua nama berinisial PY dan HR, yang merupakan pejabat senior di era pemerintahan SBY, disebut dalam laporan internal.
Memo DPR dan Dugaan Intervensi
Tak berhenti di situ. Muncul pula nama tokoh berinisial SN, yang disebut pernah mengeluarkan memo atas nama Ketua DPR RI tertanggal 15 Oktober 2015. Memo tersebut ditujukan kepada Direksi Pertamina agar segera membayar tagihan sewa terminal BBM PT Orbit Terminal Merak. Padahal, kontrak tersebut saat itu tengah diendus oleh KPK karena diduga bermasalah.
Kerugian Negara Mencapai Rp285,7 Triliun
Kasus korupsi Pertamina periode 2018–2023 disebut sebagai korupsi kebijakan yang melibatkan empat subholding Pertamina —
PT Kilang Pertamina International, PT Pertamina Patra Niaga, PT Pertamina International Shipping, dan PT Pertamina Hulu Energi — serta sejumlah KKKS di bawah pengawasan SKK Migas.
Sejumlah temuan di antaranya:
Ekspor minyak mentah produksi KKKS yang seharusnya bisa diserap kilang Pertamina.
Usulan HIP blending Pertalite dari Mogas 88 dan Mogas RON 92 yang diduga menimbulkan kerugian negara Rp11,1 triliun (hasil audit BPK RI).
Penjualan solar industri di bawah harga solar subsidi kepada 13 perusahaan swasta, termasuk PT Adaro Energy milik Boy Tohir, yang menyebabkan kerugian negara Rp9,4 triliun.
Analisis Pemerhati Intelijen
Pemerhati intelijen Sri Radjasa, MBA, menilai skandal Pertamina tidak bisa dilepaskan dari jejaring kepentingan antara elite politik, pebisnis minyak, dan oknum aparat penegak hukum.
“Kasus ini memiliki pola yang sama seperti korupsi kelas berat lain di sektor energi: ada aktor ekonomi kuat yang mendapat perlindungan politik. Bila jejaring ini tidak diputus, siapapun penegak hukumnya akan terjebak dalam permainan lama,” ujar Sri Radjasa kepada redaksi, Ahad (2/11/2025).
Ia menambahkan, indikasi keterlibatan markus di tingkat penyidikan menunjukkan bahwa instrumen hukum masih mudah disusupi oleh kepentingan bayangan.
“Kejagung harus berani membuka tabir hubungan antara MRC dan oknum aparat, termasuk kemungkinan adanya transaksi di luar proses hukum formal,” tegasnya.
Tugas Berat Kejagung di Era Prabowo
Presiden Prabowo Subianto telah memerintahkan Jaksa Agung untuk mengusut tuntas kasus korupsi di BUMN tanpa pandang bulu, serta segera menetapkan tersangka baru yang selama ini lolos karena diduga ada kolusi antara oknum Kejagung dan markus.
Langkah selanjutnya, Kejagung diharapkan memeriksa Erick Thohir selaku mantan Menteri BUMN dan juga menyelidiki dugaan keterlibatan Jokowi yang disebut sebagai pelindung MRC — sang “godfather gasoline”. (Har)
Baca Juga: Riza Chalid Bermanuver Lagi: Negara Gagal Memutus Rantai Korupsi Migas

