Catatan Hari Pahlawan 2025, di Bawah Presiden Prabowo Subianto
Tepat di Hari Pahlawan, Senin (10/11/2025), Presiden Prabowo Subianto akan mengumumkan sepuluh tokoh yang menerima gelar Pahlawan Nasional. Namun di antara nama-nama yang akan dibacakan di Istana Negara, satu nama menggema paling keras di ruang publik: Soeharto.
Presiden ke-2 Republik Indonesia itu, yang selama tiga dekade memimpin negeri ini dan selama dua dekade berikutnya menjadi simbol kontroversi, akhirnya resmi diakui negara sebagai pahlawan nasional. Keputusan ini datang di bawah kepemimpinan mantan menantunya sendiri — Prabowo Subianto — dan membawa kembali memori panjang tentang Indonesia yang pernah dibentuk di bawah bayangannya.
Dari Penguasa ke Pahlawan
Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi mengonfirmasi bahwa Soeharto termasuk dalam daftar penerima gelar tahun ini. “Kurang lebih sepuluh nama, [Pak Soeharto] masuk,” ujarnya kepada wartawan di Jakarta.
Pernyataan singkat itu mungkin terdengar biasa, tapi maknanya jauh lebih dalam. Sejak 2011, nama Soeharto berulang kali diajukan sebagai calon pahlawan nasional. Namun setiap kali, usulan itu tersendat — seolah sejarah belum selesai menimbang antara jasa dan luka.
Kini, dua puluh tujuh tahun setelah ia lengser dari tampuk kekuasaan, nama Soeharto akhirnya disahkan sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah yang dipimpin oleh mantan Komandan Kopassus yang pernah menjadi bagian dari lingkar dalam keluarganya.
Pembangunan, Stabilitas, dan Bayang-bayang Kekuasaan
Soeharto adalah sosok dengan dua wajah sejarah. Di satu sisi, ia dikenang sebagai arsitek pembangunan nasional yang berhasil membawa Indonesia keluar dari krisis ekonomi 1960-an menuju masa stabilitas. Pertumbuhan ekonomi sempat melesat hingga 10,9 persen pada 1968, swasembada pangan tercapai, dan pembangunan infrastruktur dasar meluas ke desa-desa.
Namun di sisi lain, kekuasaannya berdiri di atas struktur militeristik. Dwifungsi ABRI menempatkan tentara di ranah sipil dan politik, sementara kebebasan berekspresi dibatasi ketat. Di balik pencapaian ekonomi, terdapat catatan panjang pelanggaran HAM berat — dari pembantaian 1965–1966, tragedi Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, hingga penghilangan aktivis pada penghujung rezimnya.
Negara sendiri, melalui berbagai dokumen resmi dan pernyataan Presiden Joko Widodo pada 2023, telah mengakui peristiwa-peristiwa itu sebagai pelanggaran HAM berat yang belum seluruhnya terselesaikan.
Warisan yang Diperdebatkan
Soeharto, bagi sebagian orang, adalah simbol stabilitas dan kemakmuran. Namun bagi yang lain, ia adalah lambang kekuasaan yang menindas. Itulah mengapa setiap kali nama Soeharto disebut dalam konteks penghargaan, perdebatan selalu menyusul — antara rasa hormat dan luka sejarah.
“Ini bukan soal melupakan,” kata Prasetyo Hadi, menanggapi pertanyaan soal kontroversi yang muncul.
“Ini tentang mengenali sejarah secara utuh. Negara menghormati jasa besar beliau tanpa menutup mata terhadap sisi gelap masa lalu.” ujarnya lebih lanjut.
Pernyataan itu menegaskan arah politik rekonsiliasi yang kini diusung pemerintahan Prabowo.
Simbol Politik dan Penutup Lingkar Sejarah
Bahwa keputusan ini lahir di masa Prabowo menjabat sebagai presiden, menambah lapisan simbolik yang sulit diabaikan. Prabowo pernah menjadi bagian dari sistem yang dibangun Soeharto, pernah pula tersingkir di ujung kejatuhannya. Kini, dua puluh tujuh tahun kemudian, ia menandatangani pengakuan negara terhadap sosok yang dulu sekaligus menjadi pemimpin, mertua, dan penentu nasibnya.
Bagi sebagian pengamat, gelar pahlawan bagi Soeharto adalah penutup lingkar sejarah politik Indonesia — dari Orde Baru menuju Reformasi, dan kini ke era “rekonsiliasi nasional” yang mencoba menjahit retakan masa lalu.
Namun bagi para penyintas dan aktivis HAM, pengakuan ini justru membuka luka lama. Mereka bertanya-tanya: apakah bangsa ini benar-benar sudah berdamai dengan sejarah, atau sekadar menundanya di bawah nama besar “pahlawan”?
Hari Pahlawan yang Penuh Tafsir
Ketika Prabowo berdiri di podium Istana Negara siang ini untuk membacakan nama-nama pahlawan baru, publik akan menyimak dengan perasaan campur aduk. Antara kebanggaan, nostalgia, dan kontroversi.
Di antara sepuluh nama yang akan diresmikan, Soeharto bukan sekadar tokoh. Ia adalah bab besar dari sejarah Indonesia — bab yang ditulis dengan tinta kemajuan sekaligus noda kekuasaan.
Dan pada Hari Pahlawan 2025 ini, bab itu akhirnya ditutup dengan satu kalimat resmi dari negara, “Soeharto, Pahlawan Nasional Republik Indonesia.”
(Dirangkum dari berbagai sumber)












