Editor Indonesia, Jakarta – Rumah Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni, di Tanjung Priok, Jakarta Utara, luluh lantak digasak massa pada Sabtu (30/8/2025) malam. Mobil mewah rusak, pagar rumah ambruk, dan isi kediaman raib. Peristiwa ini bukan sekadar tindak kriminal, melainkan alarm keras bagi pemerintah dan parlemen di tengah meningkatnya ketidakpuasan publik.
Amukan massa dipicu pernyataan Sahroni yang menyebut rakyat “tolol” karena menyerukan pembubaran DPR, serta komentarnya bahwa tugas dewan bisa dijalankan dari rumah. Ucapan itu dinilai merendahkan publik, terutama bagi masyarakat yang tengah berjibaku menghadapi kenaikan harga kebutuhan pokok.
“Bagi rakyat kecil, kata-kata itu terasa menyakitkan dan memicu kemarahan kolektif,” ungkap Agung Nugroho, pengamat sosial politik dari Jakarta Institut, Ahad (31/8/2025).
Fenomena ini dapat dijelaskan melalui teori deprivasi relatif Ted Gurr (1970). Rakyat tidak sekadar marah karena miskin, melainkan karena merasa diperlakukan tidak adil. Harapan agar wakil rakyat membela kepentingan publik justru berbalik menjadi kekecewaan karena pejabat terkesan mengejek.
Selain itu, konsep anomie dari Émile Durkheim dan Robert Merton juga relevan. Ketika aturan formal tak lagi dipercaya, masyarakat menciptakan mekanisme hukum alternatif. Amukan massa di Priok adalah bentuk *street justice* atau pengadilan jalanan, ketika hukum formal gagal memberi rasa keadilan.
Kasus ini mengingatkan pada peristiwa di negara lain. Tahun 2011, rumah keluarga Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali dibakar massa sebelum rezimnya tumbang. Pada 2022, rakyat Sri Lanka menyerbu istana presiden dan menjadikannya simbol perlawanan. Semua bermula dari krisis kepercayaan publik terhadap pemerintah yang abai.
Bagi Indonesia, insiden Priok harus dibaca sebagai sinyal bahaya, bukan sekadar kriminalitas. Rakyat semakin kehilangan kesabaran melihat gaya hidup mewah pejabat di tengah ketidakadilan sosial.
Agung Nugroho menegaskan pemerintah dan DPR perlu segera mengambil langkah nyata, salah satunya mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset untuk menutup ruang bagi praktik korupsi. Tanpa itu, peristiwa serupa bukan mustahil terulang.
“Priok adalah ujian. Jika pejabat tetap arogan, street justice bisa menjadi kebiasaan baru. Ketika hukum negara tidur, hukum jalanan akan bangun,” kata Agung Nugroho. (Har)
Baca Juga: Prabowo Bicara Chaos, Rakyat Ingat Affan Kurniawan: Siapa Dalang Sebenarnya?