Oleh: Khudori*
Thomas Lembong, Menteri Perdagangan periode 2015-2016 resmi ditetapkan sebagai tersangka impor gula oleh Kejaksaan Agung (kejagung). Ada dua kasus yang menjerat Tom Lembong, sapaan Thomas Lembong. Pertama, persetujuan impor gula kristal mentah (GKM) 105 ribu ton untuk diolah jadi gula kristal putih (GKP) atau gula konsumsi ke PT AP pada 2015. Tom disalahkan karena saat itu kita surplus gula. Selain itu, merujuk Peraturan Menteri Perdagangan dan Perindustrian 527/2004 tentang Ketentuan Impor Gula, yang diperbolehkan mengimpor adalah BUMN. PT AP bukan BUMN, tapi swasta.
Kasus kedua, persetujuan impor GKM untuk diolah GKP sebesar 300 ribu ton pada Januari 2016 kepada PT PPI (Perusahaan Perdagangan Indonesia). Tugas ke PPI untuk melakukan pemenuhan stok gula (konsumsi) nasional dan menstabilkan harga. Rencana impor sebetulnya dibahas di rakor bidang perekonomian di bawah Kemenko Perekonomian. Tom Lembong disalahkan karena izin yang dikeluarkan impor GKM, mestinya GKP. Persetujuan impor Kemendag tanpa rekomendasi Kemenperin, dan yang mengolah GKM jadi GKP adalah pabrik gula rafinasi, yang tak lain produsen gula kristal rafinasi (GKR).
Saya tidak begitu ingat kondisi di awal hingga pertengahan tahun 2015. Yang pasti, akhir tahun 2015 stok gula hanya 816 ribu ton gula, yang kemudian menjadi stok awal 2016. Stok ini hanya cukup untuk kebutuhan konsumsi 3,42 bulan (816 : 238, 238 merupakan pembagian angka konsumsi gula 2015 sebesar 2,863 juta ton dengan 12 bulan) atau hanya cukup dari Januari hingga pertengahan April 2016. Karena Januari – Mei tidak ada tambahan gula berarti dari produksi domestik, impor mestinya jauh-jauh hari.
Persetujuan impor memang dikeluarkan Januari 2016, tapi berupa izin impor GKM untuk diolah jadi GKP. Ini awal “kecelakaan” itu terjadi. Sudah jamak diketahui, saat itu pabrik gula BUMN yang berbasis tebu dalam kondisi tidak giling. Mereka baru giling akhir Mei atau awal Juni 2016. Karena tidak giling, penugasan diberikan ke PT PPI, yang juga BUMN. Tapi PPI bukan BUMN yang bisa bertindak sebagai importir produsen.
Langkah Tom ini menyalahi aturan. Karena tidak ada pabrik gula BUMN yang giling, PT PPI kemudian bekerja sama dengan pabrik gula rafinasi untuk mengolah GKM jadi GKP. Pabrik gula rafinasi bisa dipastikan bisa beroperasi sepanjang tahun karena bahan baku GKM dari impor. Sepanjang impor terjaga, operasi bisa sepanjang tahun.
Langkah ini juga salah. Karena pabrik gula rafinasi bukan produsen GKP. Pabrik gula rafinasi itu produsen GKR, yang pasarnya untuk industri (makanan, minuman, dan farmasi). Perlu dijelaskan, di Indonesia pasar gula konsumsi dan pasar gula industri dibedakan alias tersekat. Sepertinya hanya di sini pasar gula disekat seperti ini.
Karena pabrik gula rafinasi tidak memiliki izin memproses GKP, maka gula yang dihasilkan tidak langsung mendapatkan SNI GKP. Toh setelah SNI selesai, gula baru bisa disalurkan pada Mei 2016. Selama Januari-April pasokan gula hanya mengandalkan stok akhir 2015. Tambahan produksi belum ada, sementara keputusan distribusi gula sepenuhnya dipegang pedagang. Distribusi bulanan gula selama Januari-April 2016 terus menurun, jauh dari kebutuhan pasar.
Situasi ini dimanfaatkan pedagang dengan menahan stok agar harga terkerek naik. Strategi ini berhasil yang ditandai oleh kenaikan harga gula fantastis di tingkat ritel, yang mencapai puncaknya pada Juli 2016: Rp16.266/kg. Harga ini jauh di atas harga eceran tertinggi (HET) sebesar Rp13 ribu/kg.
Menurut Kejaksaan Agung, GKP itu tidak disalurkan dalam bentuk operasi pasar. Tapi oleh perusahaan swasta dijual ke masyarakat melalui distributor dengan harga Rp16.000/kg, lebih tinggi dari HET. Diatur seolah-olah PT PPI membeli gula dari pabrik gula rafinasi yang mengolah GKM jadi GKP. Inilah yang mengantarkan CS, Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI, menjadi tersangka bersama Tom Lembong. Boleh jadi Tom Lembong tak tahu detail2 langkah PT PPI ini, selain ngeluarin izin impor.
Dugaan saya, Tom Lembong disalahkan karena menunjuk PT PPI yang bukan BUMN produsen gula, yang menurut aturan harus demikian. Langkah itu, saya duga, ditempuh Thomas Lembong karena tidak ada pabrik gula BUMN yang tengah giling. Dipilih penugasan tetap ke BUMN meski bukan BUMN produsen gula. Masalahnya, mengapa tidak impor GKP, tapi impor GKM untuk diolah jadi GKP? Sepanjang yang saya tahu, pabrik gula rafinasi terlibat dalam produksi GKP dari GKM ini bukan kasus satu-satunya.
Ketika dalam kondisi “terdesak”, pabrik gula rafinasi dilibatkan dalam produksi GKP. Secara umum, GKM impor yang diolah jadi GKP harganya lebih murah atau lebih rendah dari HET GKP. Ini potensial memberikan keuntungan yang besar dan menggiurkan bagi pihak-pihak yang terlibat dalam impor dan produksi. Oleh karena itu, sebaiknya Kejagung memeriksa semua kasus yang pernah ada. Bukan hanya kasus Tom Lembong.
Situasi yang mirip akhir 2015 dan awal tahun 2016 terjadi di akhir 2019. Saat itu stok gula nasional 1,084 juta ton, hanya cukup 4,2 bulan. Dari jumlah itu, stok di gudang hanya 0,5 juta ton, sisanya merupakan stok tersembunyi (hidden stock) yang ada di tangan distributor dan pedagang (soal ini bisa dibaca di buku saya: https://ipbpress.com/product/628-ekonomi-politik-industri-gula-rafinasi:-kontestasi-pemerintah,-importir,-pabrik-gula-dan-petani).
Hidden stock terjadi karena “kekacauan” yang dibuat pemerintah dengan menyalahi aturan yang dibuat sendiri, yakni menugaskan impor GKM untuk diolah jadi GKP tidak hanya oleh pabrik gula (BUMN) berbasis tebu, tetapi juga perusahaan lain non-pabrik gula tebu: kelompok pabrik gula rafinasi, koperasi & BUMN yang tidak memiliki pabrik gula. Gula tidak termonitor dengan baik karena perusahaan-perusahaan yang mendapat mandat penugasan ini tidak melaporkan perkembangan hasil pengolahan, penyaluran, dan stoknya. Akhirnya, seperti di awal 2016, pada awal 2020 harga GKP naik tinggi, lebih dari Rp18 ribu. Distributor dan pedagang yang menguasai stok “memainkan” harga.
Di luar itu, acak-adut impor pangan sebenarnya tidak hanya terjadi pada gula. Merujuk pada hasil pemeriksaan BPK tentang pengelolaan tata niaga impor pangan dari 2015 hingga Semester I 2017 (dari Menteri Perdagangan Rachmat Gobel, Thomas Lembong hingga Enggartiasto Lukita) menemukan sebelas kesalahan kebijakan impor pada lima komoditas: beras, gula, garam, kedelai, sapi, dan daging sapi.
Jika dikelompokkan, kesalahan tersebut terbagi menjadi empat besar (bisa dilihat di Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II 2017 BPK: https://www.bpk.go.id/ihps). Pertama, impor tak diputuskan di rapat di Kemenko Perekonomian. Kedua, impor tanpa persetujuan kementerian teknis: Kementerian Pertanian. Ketiga, impor tak didukung data kebutuhan & persyaratan dokumen. Keempat, pemasukan impor melebihi dari tenggat yang ditentukan.
Jadi, acak-adut impor itu tidak hanya terjadi pada gula, tapi juga komoditas lainnya. Juga, acak-adut impor potensial tidak hanya terjadi pada saat Thomas Lembong menjabat sebagai Menteri Perdagangan. Oleh karena itu, agar tidak memunculkan syak wasangka buruk, sebaiknya Kejagung memeriksa semua kasus yang memang potensial merugikan negara. Hanya dengan cara demikian, Kejagung akan terbebas dari tuduhan tebang pilih. Kita dukung Kejagung untuk membersihkan semua aparat, pejabat, dan para pihak yang menjadi pencoleng dengan kedok impor.
Sedikit pelurusan, Kejagung menyebut Peraturan Menteri Perdagangan dan Perindustrian 527/2004 tentang Ketentuan Impor Gula yang dilanggar Tom Lembong. Peraturan ini sebenarnya sudah beberapa kali mengalami pergantian. Antara lain oleh Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 117/2015 tentang Ketentuan Impor Gula. Terakhir, oleh Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 14/2020 tentang Ketentuan Impor Gula.
Meskipun regulasi berubah, substansinya ada yang tak berubah. Pertama, pasar GKR dan GKP tetap terpisah. Kedua, impor hanya bisa dilakukan oleh perusahaan yang mendapatkan pengakuan sebagai importir dari otoritas, yakni BUMN produsen gula yang mengantongi Angka Pengenal Impor Produsen. Ketiga, impor GKM sebagai bahan baku GKR dan impor GKR oleh perusahaan yang mendapatkan pengakuan sebagai importir hanya bisa digunakan sebagai bahan baku untuk proses produksi dari industri. Gula dilarang dipindahtangankan atau diperjualbelikan kepada pihak lain. Sementara yang berubah pada detail-detail. (#)
*)Penulis, pengamat, dan pakar di bidang agraria, pertanian.