Jabodetabek

Tiga Gubernur Cerdas dan Arah Baru Jakarta: Sinergi Menuju Kota Global

×

Tiga Gubernur Cerdas dan Arah Baru Jakarta: Sinergi Menuju Kota Global

Sebarkan artikel ini
Tiga Gubernur Cerdas dan Arah Baru Jakarta: Sinergi Menuju Kota Global
Ilustrasi, Fauzi Bowo, Anies Baswedan dan Pramono Anung/dok.Editor Indonesia-AI
Tiga Gubernur Cerdas dan Arah Baru Jakarta: Sinergi Menuju Kota Global

Editor Indonesia, Jakarta – Pertemuan dengan tiga sosok yang pernah dan sedang memimpin Jakarta meninggalkan kesan mendalam. Sekitar dua hingga tiga bulan lalu, saya berkesempatan berdiskusi dengan Gubernur DKI Jakarta periode 2007–2012, Fauzi Bowo (Foke), di kediamannya di Menteng. Tidak lama berselang, kesempatan serupa saya alami bersama mantan Gubernur DKI Jakarta 2017–2022, Anies Rasyid Baswedan, di pendopo rumahnya di Jakarta Selatan.

Beberapa hari lalu, dalam seminar bertajuk “Water Governance Towards Global Cities” yang diselenggarakan oleh Universitas Pertahanan RI, saya kembali berjumpa dengan Gubernur DKI Jakarta saat ini, Pramono Anung Wibowo. Dalam forum itu, ia menegaskan arah pembangunan Jakarta sebagai kota global yang inklusif, tangguh, dan berkelanjutan.

Melihat kiprah tiga tokoh ini—Foke, Anies, dan Pramono—tidak berlebihan jika menyebut mereka sebagai “tiga gubernur cerdas” hasil Pilkada Jakarta. Ketiganya memiliki legitimasi akademis sekaligus kapasitas kepemimpinan yang kuat. “Baik Foke, Anies, maupun Pramono sama-sama membawa tradisi berpikir rasional dan berbasis data dalam memimpin Jakarta. Ini modal penting untuk menjaga kesinambungan pembangunan,” ujar Sugiyanto Emik, pemerhati sosial Jakarta, ketika dimintai tanggapannya, Sabtu (4/10/2025)

Warisan Foke dan Anies: Dari Tata Kota ke Revitalisasi Budaya

Fauzi Bowo dikenal sebagai teknokrat yang membangun fondasi modernisasi Jakarta. Doktor tata kota jebolan Jerman ini menggagas sejumlah proyek strategis seperti Pelabuhan Internasional Marunda, Giant Seawall, ITF (Intermediate Treatment Facility), ERP (Electronic Road Pricing), serta pembangunan Jalan Layang Non Tol Antasari dan Casablanca. Ia juga menuntaskan Banjir Kanal Timur (BKT) dan memperluas jaringan busway yang dirintis sejak era Sutiyoso, hingga meletakkan dasar pembangunan MRT.

Sementara Anies Baswedan menghadirkan dimensi baru pembangunan kota: memadukan estetika, budaya, dan partisipasi warga. Dua karya monumental menandai masa kepemimpinannya—revitalisasi Taman Ismail Marzuki (TIM) sebagai pusat kesenian dunia, dan pembangunan Jakarta International Stadium (JIS) sebagai simbol kebanggaan warga. Anies juga memperkenalkan konsep Jakarta kota kolaborasi, yang memberi ruang partisipatif bagi komunitas warga dan sektor swasta.

“Foke dan Anies memiliki karakter pembangunan yang berbeda namun saling melengkapi. Foke kuat di infrastruktur fisik, Anies menonjol dalam infrastruktur sosial dan budaya,” jelas Sugiyanto Emik.

Pramono Anung: Dari Politik Nasional ke Mimpi Global City

Kini, estafet kepemimpinan berlanjut kepada Pramono Anung Wibowo, sosok yang sebelumnya dikenal di panggung politik nasional. Dengan latar belakang teknik pertambangan dan doktor komunikasi politik, Pramono membawa kombinasi unik antara manajemen, strategi komunikasi, dan pengalaman legislasi panjang di parlemen.

Visinya jelas: menjadikan Jakarta kota global berperingkat ke-50 dunia pada 2029, naik dari posisi 74 berdasarkan Global City Index. Target ini tidak hanya simbolik, tetapi menandai transformasi Jakarta dari ibu kota politik menjadi kota berdaya saing ekonomi dan budaya.

“Pramono tampak lebih teknokrat dibanding politisi lain. Ia mengelola pemerintahan dengan pendekatan sistematis, berbasis kinerja, dan evaluasi. Tantangannya adalah bagaimana menjaga kolaborasi lintas era gubernur sebelumnya,” tambah Sugiyanto.

Mewarisi Semangat Bang Ali

Dalam lintasan sejarah, sulit menyingkirkan bayangan Ali Sadikin dari setiap perbandingan. Gubernur fenomenal itu menjadi simbol kepemimpinan yang membangun Jakarta dengan hati dan visi besar: dari Taman Ismail Marzuki, Ancol, Ragunan, Jakarta Fair, hingga program perbaikan kampung MHT.

Warisan inilah yang kemudian diteruskan dengan ragam pendekatan oleh penerus-penerusnya. Foke mewarisi logika pembangunan fisik, Anies menumbuhkan ekosistem sosial-budaya, sementara Pramono kini berupaya mengintegrasikan keduanya menuju Jakarta berkelas dunia.

Sinergi Politik dan Kolaborasi Lintas Generasi

Sejarah Pilkada DKI Jakarta menunjukkan dinamika politik yang menarik.

  • Pilkada 2007, Foke menang dengan dukungan PDIP dan Pramono Anung yang kala itu masih aktif di DPR.

  • Pilkada 2012, Foke kalah dari pasangan Jokowi–Ahok.

  • Pilkada 2017, PDIP kembali maju dengan Ahok–Djarot, namun dikalahkan oleh Anies Baswedan.

  • Pilkada 2024, sejarah berulang namun dalam bentuk berbeda: Foke dan Anies secara terbuka mendukung pasangan Pramono–Rano Karno, yang akhirnya menang dalam satu putaran dengan dukungan Ahok dan PDIP.

Sinergi para mantan gubernur ini menunjukkan kematangan politik dan kesadaran kolektif bahwa pembangunan Jakarta tidak boleh berhenti pada satu periode. Kolaborasi lintas generasi menjadi fondasi kuat untuk membawa Jakarta menuju masa depan.

Harapan dan Evaluasi

Sugiyanto Emik menegaskan, keberhasilan Jakarta ke depan akan ditentukan oleh kualitas sinergi antara visi gubernur dan integritas birokrasi.

“Saya sudah mengikuti perjalanan Pemprov DKI sejak era Sutiyoso. Banyak hasil audit BPK yang menunjukkan masih banyak pembenahan yang diperlukan, baik di level ASN maupun BUMD. Karena itu, dukungan publik harus diimbangi dengan kontrol sosial yang kuat,” ujarnya.

Ia menambahkan, Gubernur Pramono perlu menegaskan integritas dan ketegasan dalam mengawasi para pembantunya, agar cita-cita “Jakarta Kota Global” tidak terhambat oleh kesalahan teknis atau penyimpangan administratif.

Jakarta Menuju Kota Dunia

Jakarta kini berada di fase penting sejarahnya. Di bawah kepemimpinan Pramono Anung Wibowo, kota ini tidak lagi sekadar ibu kota politik, melainkan etalase masa depan Indonesia. Sinergi lintas era gubernur menjadi kekuatan moral dan politik yang langka—dan bila dikelola dengan bijak, akan menjadi motor penggerak Jakarta menuju kota global yang maju, berdaya saing, dan manusiawi.

“Jakarta punya semua syarat untuk jadi kota dunia—tinggal bagaimana kepemimpinan politik, birokrasi, dan masyarakat sipil mampu berjalan beriringan. Itulah tantangan sekaligus harapan kita,” pungkas Sugiyanto Emik. (Sar)