Iklan SMPB
Opini

Umrah Naik Kapal Pesiar

×

Umrah Naik Kapal Pesiar

Sebarkan artikel ini
Umrah naik kapal pesiar
Ilustrasi umrah naik kapal pesiar/dok.Editor Indonesia-ai
Umrah Naik Kapal Pesiar

Oleh: Cak AT*

Bayangkan berangkat umrah bukan lewat udara, tapi berlayar menyeberangi Samudra Hindia dengan kapal pesiar mewah. Layar digital di dek menampilkan peta menuju Tanah Suci, jamaah mengenakan ihram sambil mendengarkan tausiyah Ustaz Abdul Somad di tengah semilir angin laut.

Bukan film, bukan mimpi. Ini nyata: Malaysia memulai babak baru dalam sejarah ibadah modern dengan meluncurkan Aroya Islamic Cruise, pelayaran umrah mewah pertama di Asia Tenggara. Dengan biaya sekitar Rp58 juta, kapal ini menawarkan pengalaman spiritual dan perjalanan budaya selama 16 hari 15 malam dari Port Klang hingga Jeddah, melintasi jejak para hujjaj Nusantara di masa lalu.

Pendiri CRU Islam International, Suhaimi Abdul Ghaffar, menyebut inisiatif ini bukan sekadar bisnis, melainkan “ibadah yang berlayar.” Kapal tersebut beroperasi di bawah Public Investment Fund (PIF) Arab Saudi, proyek yang digagas langsung oleh Putra Mahkota Mohammed bin Salman. Dilengkapi 27 restoran halal, area balkon menghadap laut, dan ruang spiritual yang menyerupai masjid terapung, kapal ini menjadi simbol baru pariwisata halal global.

Namun, di balik kemegahan itu, muncul pertanyaan yang menggugah nurani: mengapa bukan Indonesia yang lebih dulu melakukannya? Negeri kepulauan dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia ini pernah memiliki sejarah pelayaran haji yang legendaris — dari Kapal Haji Kuala, Tampomas, hingga KM Gunung Jati yang membawa ribuan jamaah dari Tanjung Priok ke Jeddah. Saat itu, berangkat haji lewat laut bukan kemewahan, tapi simbol perjuangan iman dan kebersamaan lintas suku.

Kini, ketika dunia justru menghidupkan kembali tradisi itu dalam format modern dan berkelas, Indonesia tampak kehilangan arah kompas maritimnya. Sementara Malaysia memproyeksikan 6.000 wisatawan per tahun dari konsep Aroya Islamic Cruise, kita masih sibuk memperdebatkan kuota, biaya, dan daftar tunggu yang bisa mencapai empat dekade.

Padahal, jika berbicara potensi, Indonesia memiliki semua syarat untuk memimpin di bidang ini: garis pantai membentang lebih dari 80 ribu kilometer, ratusan pelabuhan aktif, dan tradisi bahari yang telah mendarah daging sejak era kerajaan Islam Nusantara. Dari Aceh hingga Gresik, jejak pelayaran para ulama dan jamaah haji sudah tercatat dalam sejarah berabad-abad lamanya.

Yang hilang bukan kemampuan, tetapi kemauan dan visi. Malaysia mampu melihat peluang ekonomi dan spiritual sekaligus. Mereka menggandeng lembaga perjalanan umrah resmi, industri pelayaran, hingga otoritas pariwisata halal dalam satu ekosistem. Hasilnya bukan sekadar tiket kapal yang terjual, tetapi efek berganda: peningkatan wisata religi, penguatan citra negara Muslim modern, dan lahirnya model bisnis baru bernilai spiritual tinggi.

Sementara itu, Indonesia masih terjebak dalam paradigma lama: menunggu pesawat, memperdebatkan kuota, dan menyerahkan logistik ibadah pada pihak asing. Kita lupa bahwa bangsa ini pernah mandiri dalam mengatur perjalanan haji lewat laut — dengan kapal sendiri, pelabuhan sendiri, dan semangat kolektif yang luar biasa.

Umrah Naik Kapal Pesiar

Kini, di tengah kemajuan teknologi maritim dan meningkatnya minat masyarakat terhadap wisata religi, sudah saatnya Indonesia kembali berlayar. Bayangkan sebuah kapal bernama Umrah Nusantara yang berangkat dari Belawan, Surabaya, dan Makassar. Di dalamnya, jamaah tak hanya beribadah, tapi juga belajar sejarah dakwah Wali Songo, menelusuri rute perdagangan Islam, serta meneguhkan kembali identitas maritim bangsa.

Gagasan ini sejalan dengan cita-cita besar “Poros Maritim Dunia” yang pernah digaungkan pemerintah. Sayangnya, poros itu kini lebih sering terdengar di seminar daripada di laut. Padahal, pelayaran umrah dapat menjadi bentuk nyata dari poros maritim spiritual — perpaduan antara iman, inovasi, dan ekonomi rakyat.

Untuk memulainya, Indonesia tidak perlu langsung membeli kapal pesiar megah. Cukup membangun sinergi antara BUMN pelayaran seperti Pelni, Garuda Indonesia, dan BPKH, bersama kementerian terkait serta operator turisme halal swasta. Kolaborasi semacam ini bisa melahirkan proyek percontohan dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan.

Sebab laut, bagi orang beriman, bukan penghalang menuju Tuhan — melainkan jalan panjang menuju rumah-Nya. Dulu, para jamaah menempuhnya dengan layar kayu dan doa di bibir ombak. Kini, dengan kapal baja dan navigasi satelit, apakah kita justru kehilangan nyali untuk berlayar?

Barangkali inilah saatnya Indonesia menatap laut bukan sebagai batas, tapi sebagai jembatan ziarah menuju Baitullah. Sebab bangsa besar bukan diukur dari seberapa jauh ia terbang, melainkan seberapa berani ia berlayar.

*) Ahmadie Thaha, Ma’had Tadabbur al-Qur’an.