Editor Indonesia, Jakarta – Riuh rendah ruang Sidang Tipikor Jakarta pada Jumat (18/7/2025) terasa berbeda. Bukan hanya karena putusan Majelis Hakim terhadap Thomas Trikasih Lembong -biasa disapa Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan RI dalam kasus korupsi impor gula yang terjadi saat menjabat pada 2015–2016, tapi karena munculnya suara-suara jujur dari pengunjung muda yang memenuhi ruang sidang.
Fatia Masriati, salah satu di antaranya, menyaksikan langsung momen kala Tom Lembong dijatuhi vonis 4 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp750 juta, subsider 6 bulan kurungan. Vonis ini lebih ringan dibanding tuntutan jaksa, yakni 7 tahun. Tapi, bagi Fatia dan sejumlah pengunjung muda lainnya, persoalannya bukan hanya soal berat-ringan hukuman, melainkan apa makna sesungguhnya dari proses hukum ini di tengah iklim politik pasca-pemilu.

“Saya enggak tahu harus sedih atau curiga. Vonis ini seperti pintu ke dunia yang lebih rumit: antara penegakan hukum dan alat kekuasaan,” kata Fatia seusai sidang menjawab editorindonesia.com.
Sikap serupa diungkap Anastasya Rahmaniar, Gen Z yang selalu mengikuti jalannya persidangan sejak awal. “Narasinya terus bertarung. Di satu sisi pemerintah ingin menunjukkan penegakan hukum tanpa pandang bulu. Tapi di sisi lain, ada ketakutan yang makin besar bahwa hukum justru jadi alat untuk membungkam lawan politik,” ujar Anastasya yang baru lulus dari Fakultas Komunikasi, perguruan tinggi ternama di Jakarta.
Battle of Narrative: Hukum atau Lawfare?
Kasus Lembong, menurut pengamat dan sejumlah akademisi, sudah lebih dari sekadar perkara pidana. Ia telah menjelma jadi battle of narrative, antara upaya pemberantasan korupsi dan dugaan kriminalisasi kebijakan ekonomi.
Pemerintah, menurut Anastasya, mendorong framing penegakan hukum siapa pun orangnya, menegaskan bahwa mantan menteri sekalipun bisa dijerat jika melanggar aturan. Namun Lembong dan para pendukungnya memilih narasi “lawfare“—yakni penggunaan hukum sebagai alat politik. Lembong sendiri dalam pernyataannya menyebut tidak memiliki niat jahat (mens rea) dan mengklaim bahwa kasus ini muncul setelah ia mendukung Anies Baswedan di Pilpres 2024.
“Media nasional sebagian besar memilih posisi netral dan berhati-hati. Namun media internasional lebih vokal. The Australian menyebut kasus ini sebagai “ujian demokrasi Indonesia”, sementara Reuters menulisnya sebagai “contoh lawfare di negara berkembang,” ungkap Anastasya mencoba membandingkan.

Gen Z, Hukum, dan Demokrasi yang Retak
Yang mengejutkan, perhatian anak muda terhadap kasus ini bukan basa-basi. Mereka tak hanya datang untuk konten Instagram atau story TikTok, melainkan benar-benar mengikuti, mencatat, bahkan menganalisis. Di tengah dunia yang serba cepat dan instan, keterlibatan mereka dalam persoalan hukum dan demokrasi menjadi sinyal penting.
“Kasus ini kayak semacam refleksi buat kita. Demokrasi tuh bukan cuma soal nyoblos di bilik suara, tapi juga tentang bagaimana negara memperlakukan warganya yang kritis,” ujar Anastasya.
Mereka sadar bahwa yang sedang diuji bukan hanya Tom Lembong, tetapi kredibilitas hukum itu sendiri. Apakah hukum kita bisa berdiri tegak tanpa takut pada kekuasaan? Atau justru mulai melengkung mengikuti arah angin politik?
Dukungan Akademisi dan Kekhawatiran Demokrasi
Tak hanya publik muda, sejumlah ekonom dan akademisi dari berbagai universitas juga menyatakan dukungan terhadap Lembong. Nama Vid Adrison PhD dari FEB UI bahkan hadir sebagai saksi ahli dalam persidangan. Mereka menilai kasus ini menjadi preseden berbahaya: ketika kebijakan ekonomi yang berbasis data justru dipidanakan.
“Ini bisa bikin pejabat publik takut membuat keputusan strategis. Kalau salah langkah sedikit, langsung dikriminalisasi. Ini mematikan inisiatif,” kata seorang ekonom dari universitas negeri ternama yang enggan disebut namanya.
Banding: Jalan Panjang Mencari Keadilan
Meski sudah divonis, Tom Lembong masih mempertimbangkan untuk mengajukan banding. Ada narasi yang beredar bahwa jika banding dilakukan, hukuman bisa diperberat. Tapi bagi para pendukungnya, termasuk sejumlah kalangan muda, proses banding tetap penting.
“Kalau memang merasa tidak bersalah, kenapa tidak lanjut? Hukum bukan soal kalah-menang, tapi kebenaran,” ucap Fatia menegaskan dukungannya.
Kini, bukan hanya Lembong yang diuji, tapi juga keteguhan sistem hukum Indonesia dalam menghadapi tekanan politik. Dan di tengah pusaran itu, generasi muda mulai menunjukkan bahwa mereka bukan penonton pasif demokrasi. Mereka adalah saksi, sekaligus penjaga nurani bangsa. (Fawzi)
Baca Juga: Tom Lembong Divonis 4,5 Tahun, Masih Pertimbangkan Ajukan Banding












