Ekonomi

Fenomena ROJALI hingga ROTASI: Cermin Ekonomi Lesu dari Mulut Pedagang

×

Fenomena ROJALI hingga ROTASI: Cermin Ekonomi Lesu dari Mulut Pedagang

Sebarkan artikel ini
Fenomena ROJALI hingga ROTASI: Cermin Ekonomi Lesu dari Mulut Pedagang
Ilustrasi/dok.Editor Indonesia-fauzi
Fenomena ROJALI hingga ROTASI: Cermin Ekonomi Lesu dari Mulut Pedagang

 “ROJALI mampir, ROHANA nanya-nanya, ROCEGA cek harga, lalu ROTASI… tanpa transaksi.”

Editor Indonesia, Jakarta – Kalimat ini bukan pantun receh, melainkan keluh kesah yang belakangan sering terdengar dari para pedagang di berbagai sudut Indonesia. Di balik istilah-istilah kreatif seperti ROJALI (Rombongan Jarang Beli), ROHANA (Rombongan Hanya Nanya), ROHALI (Rombongan Hanya Lihat-lihat), hingga ROTASI (Rombongan Tanpa Transaksi), terselip ironi sekaligus realitas: ekonomi sedang tidak baik-baik saja.

Istilah-istilah ini mencuat di media sosial sebagai bentuk satire dari kenyataan pahit yang dihadapi pelaku UMKM maupun pedagang pasar. Banyak pengunjung datang ke toko atau warung, namun tak berujung pada pembelian. Sekadar lihat-lihat, bertanya harga, memuji, lalu pergi. Transaksi nihil. Padahal biaya operasional, sewa tempat, hingga harga bahan pokok terus merangkak naik.

Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonsus Widjaja, menyebut tren ini memang kembali mencuat tahun ini akibat melemahnya daya beli masyarakat, terutama di kalangan menengah ke bawah.

“Sekarang memang terjadi ini (fenomena ROJALI) lebih karena faktor daya beli, khususnya yang di kelas menengah bawah. Kan daya belinya berkurang, uang yang dipegang semakin sedikit, tetapi mereka tetap datang ke pusat perbelanjaan,” ujar Alphonsus, yang dikutip Senin (28/7/2025).

Ia mencatat bahwa meski kunjungan ke pusat belanja naik 10 persen dibanding tahun lalu, angka ini masih jauh dari target 20–30 persen. Mayoritas pengunjung hanya melihat-lihat atau berbelanja dalam jumlah yang sangat kecil.

Menurutnya, pemulihan daya beli yang biasa muncul menjelang Lebaran tahun ini tidak terlihat. Tekanan global, penguatan dolar, serta pengetatan anggaran dari pemerintah membuat masyarakat menahan konsumsi. Bahkan, Alphonsus menyebut 95 persen pengunjung mal berasal dari kelas menengah bawah yang saat ini paling terdampak secara ekonomi.

“Kelompok atas lebih berhati-hati membelanjakan uang dan sebagian memilih belanja ke luar negeri,” tambahnya.

Fenomena Lucu tapi Serius

Sosiolog ekonomi menyebut fenomena ROJALI dan kawan-kawan sebagai “indikator rakyat cerdas di tengah krisis”. Mereka tetap ingin bersosialisasi dan menjaga lifestyle, namun dengan bujet terbatas. Mal bukan lagi tempat belanja, melainkan jadi “ruang publik ber-AC” untuk sekadar cuci mata, isi waktu, atau konten media sosial.

Tapi bagi pedagang, ini bukan sekadar lelucon. Lesunya transaksi berarti ancaman nyata bagi kelangsungan usaha. Banyak warung tutup, toko online vakum, hingga usaha mikro gulung tikar karena tak bisa menutup biaya.

BPS: ROJALI Layak Dipantau Sebagai Gejala Sosial

Deputi Bidang Statistik Sosial Badan Pusat Statistik (BPS), Ateng Hartono, mengakui bahwa pihaknya belum melakukan survei khusus soal fenomena ROJALI. Namun, ia menilai bahwa tren ini layak diperhatikan sebagai sinyal sosial yang relevan di tengah situasi ekonomi saat ini.

“Fenomena ROJALI memang belum tentu mencerminkan tentang kemiskinan, tetapi tentunya ini relevan juga sebagai gejala sosial. Bisa jadi ada (karena kebutuhan) untuk refresh atau tekanan ekonomi, terutama kelas yang rentan,” ujar Ateng dalam konferensi pers di Kantor BPS, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Menurut Ateng, hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2025 menunjukkan adanya kecenderungan masyarakat untuk menahan konsumsi. Namun, ia menekankan bahwa belum bisa disimpulkan apakah gejala ini berdampak langsung terhadap angka kemiskinan.

“ROJALI adalah sinyal penting bagi membuat kebijakan untuk tidak hanya fokus ya menurunkan angka kemiskinan, tetapi juga memperhatikan bagaimana untuk ketahanan konsumsi dan stabilitas ekonomi rumah tangga pada kelas menengah bawah,” tegasnya.

Ateng juga menekankan perlunya kajian lebih dalam terhadap kelompok sosial mana yang mengalami ROJALI secara paling signifikan—apakah kelas atas yang lebih hemat, kelas menengah yang tertekan, atau kelompok rentan yang benar-benar tidak punya daya beli.

Mengapa Daya Beli Melemah?

Sejumlah faktor dituding menjadi penyebab utama melemahnya daya beli masyarakat, diantaranya ialah:

1. Harga kebutuhan pokok naik, terutama beras, telur, minyak goreng, dan listrik.
2. Pendapatan riil masyarakat stagnan, tak sebanding dengan inflasi.
3. Bunga kredit tinggi membuat konsumsi berbasis utang menurun.
4. Generasi muda cenderung hemat dan selektif dalam pengeluaran (mindful spending).
5. Sentimen ekonomi global ikut memperburuk rasa percaya diri konsumen.

Harapan dan Seruan

Di tengah kondisi ini, pelaku usaha berharap ada kebijakan yang lebih membumi, seperti; stimulus UMKM yang lebih tepat sasaran, penurunan biaya logistik, atau kontrol harga kebutuhan pokok yang lebih efektif.

Karena kalau tidak, fenomena ROJALI bukan sekadar guyonan. Ia bisa jadi peringatan dini tentang rapuhnya fondasi konsumsi rumah tangga, yang selama ini jadi penopang utama ekonomi Indonesia. Itu sinyal buruk bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. (Har)

Baca Juga: OJK: Sektor Jasa Keuangan Tetap Kuat di tengah Pertumbuhan Ekonomi Melemah