Editorindonesia, Jakarta – Data ekonomi indikasikan Jepang secara tidak langsung telah memasuki resesi. Data GDP negeri Sakura tersebut secara Annualized kuartalan (QoQ) kembali turun dari sebelumnya -3,3% menjadi -0,4% pada kuartal IV-2023.
Data tersebut dikonfirmasikan dengan semakin kuatnya keinginan dari Bank Sentral Jepang untuk menaikkan tingkat suku bunga. Ihwal pertanda Jepang memasuki resesi
Data pertumbuhan ekonomi Jepang telah memberikan gambaran, bahwa rumah tangga maupun dunia usaha telah memangkas belanja mereka selama 3 kuartal berturut-turut. Hal ini telah membuat perekonomian Jepang turun peringkat dari ke 3 menjadi yang ke 4, dan Jerman naik peringkat menjadi yang ke 3.
Konsumsi swasta Jepang turun dari 0,6% menjadi 0,1%, begitupun dengan investasi bisnis yang turun dari sebelumnya 0,6% menjadi 0,1%. Pengeluaran rumah tangga juga turun hingga 2,5% pada bulan Desember 2023.
“Penurunan ini merupakan bulan yang ke-10 berturut-turut seiring dengan kenaikan upah yang belum dinaikkan, sehingga menggerus daya beli dan konsumsi. Kenaikan upah selalu menjadi yang terpenting, bahkan di tengah situasi dan kondisi saat ini,” kata Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Indonesia Maximilianus Nico Demus, dalam keterangannya, yang dikutip pada Sabtu (17/2/2024).
Gubernur Bank Sentral Jepang Kazuo Ueda telah menantikan pertemuan di bulan Maret yang akan memberikan kesimpulan, apakah upah akan dinaikkan atau tidak untuk menjaga inflasi yang berkelanjutan. Hal itu juga untuk menjaga peluang dari kenaikan tingkat suku bunga Bank Sentral Jepang.
Kondisi perekonomian Jepang yang suram ini membuat ekspor Indonesia merosot hingga -22,72% ke Jepang. Saat ini peluang kenaikan tingkat suku bunga Jepang pada bulan April mengalami penurunan dari 73% menjadi 63%.
“Meski masih di atas 50%, kami tidak begitu yakin Bank Sentral Jepang akan menaikkan tingkat suku bunga. Sebab Kazuo Ueda hanya mau menaikkan tingkat suku bunga apabila ada kenaikan upah yang terealisasi. Apabila hal tersebut tidak terwujud, maka suku bunga tidak jadi naik,” kata Nico.
Mau tidak mau, apabila situasi dan kondisinya seperti ini, Bank Sentral Jepang akan lebih berpeluang untuk menjaga tingkat suku bunga untuk akomodatif untuk menjaga perekonomian untuk tetap dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Buruknya data ekonomi kemarin, telah mendorong Yen Jepang lagi-lagi melemah berada di kisaran 150,40 terhadap dolar AS.
Meski begitu, ekspor bersih Jepang berkontribusi sebesar 0,2% terhadap pertumbuhan. Ekspor mobil ke Amerika, peralatan manufacture chip ke Tiongkok, serta pariwisata juga masih tumbuh. Selama 1 tahun penuh, GDP nominal Jepang bernilai USD 4,19 triliun, dimana Jerman bernilai USD 4,55 triliun. (Her)