Opini

Kolonialisme Digital: Microsoft & Israel Jadikan Cloud Senjata Penjajahan (1)

×

Kolonialisme Digital: Microsoft & Israel Jadikan Cloud Senjata Penjajahan (1)

Sebarkan artikel ini
Kolonialisme Digital: Microsoft & Israel Jadikan Cloud Senjata Penjajahan (1)
Ilustrasi/dok.Editor Indonesia/AI
Kolonialisme Digital: Microsoft & Israel Jadikan Cloud Senjata Penjajahan

Oleh: Cak AT*

Dari Awan ke Cloud: Netralitas yang Hilang

Ada masa ketika awan hanyalah gumpalan putih di langit—lambang puisi cinta dan tanda turunnya hujan. Namun kini, awan berubah jadi cloud storage, pabrik rahasia, gudang digital, ruang gelap berlapis enkripsi tempat umat manusia menaruh isi kepala dan hatinya.

Semua hal —dari status media sosial sampai percakapan kerja, dari doa tengah malam hingga curhat anak ke ibunya—tersedot, dikompresi, lalu disimpan di server-server dingin milik korporasi raksasa.

Data Palestina Disadap: Kolonialisme Awan di Era Digital

Absurdnya zaman digital dimulai ketika doa yang mestinya naik ke langit justru singgah dulu di server Microsoft di Tel Aviv. Data suara, pesan pribadi, rekaman telepon rakyat Palestina—semuanya diperas dan ditampung di sana.

Microsoft Azure, dengan slogan keamanan yang mentereng, berubah menjadi langit buatan tempat rahasia Palestina ditampung. Israel menjadikannya senjata pengawasan baru, sehingga rakyat Palestina kehilangan hak bahkan untuk berbisik.

Microsoft, Privasi, dan Ironi Globalisasi Teknologi

Media internasional pernah ribut: bagaimana mungkin sebuah perusahaan global yang setiap hari mempromosikan privacy, security, dan trust justru menjadi gudang kolonialisme digital?

Jawaban Microsoft klise: “Kami hanya penyedia layanan, bukan penentu kebijakan penggunaan data.” Itu persis seperti pemilik gudang yang pura-pura polos ketika tahu barang curian menumpuk di tempatnya.

Kontrak Microsoft–Israel: PR Drama atau Fakta?

Ketika kontrak kerjasama Microsoft-Israel terbongkar, dunia kaget. Bukan hanya karena data curian Palestina disimpan di sana, tapi juga karena perusahaan dengan motto empowering every person on the planet justru memberdayakan algoritma penjajahan.

Microsoft buru-buru mengumumkan pemutusan kontrak dengan Israel. Namun, pertanyaan besar tetap tersisa: apakah data yang sudah disedot benar-benar dihapus? Ataukah pemutusan kontrak hanyalah drama PR korporasi global?

Penjajahan Digital dan Ancaman Hak Asasi Manusia

Inilah realitas kolonialisme teknologi: kontrak bisa diputus, tapi data tak bisa diceraikan. Sekali masuk awan, ia jadi bagian dari atmosfer digital.

Dulu VOC mencuri cengkeh dan pala dari Maluku dengan kapal perang dan meriam. Kini, Microsoft bersama Israel mencuri voice note dari Gaza hanya dengan server dan kabel optik. Dari senapan ke bandwidth, dari perjanjian dagang ke Terms of Service—bentuk penjajahan hanya berganti rupa.

Kolonialisme Awan: Senjata Baru Israel di Era Cloud

Kolonialisme awan bukan metafora. Ia nyata. Ia hadir di server-server dingin yang jarang kita lihat, tapi selalu kita gunakan.

Ironinya, kita semua—dari Jakarta, New York, hingga Gaza—menaruh data di awan yang sama. Bedanya, sebagian orang kehilangan privasi karena sistem, sebagian lagi kehilangan hidup karenanya.

Pada akhirnya, pemutusan kontrak hanyalah drama. Gaza tetap disadap, Microsoft tetap kaya, Israel tetap berkuasa, dan kita tetap menaruh foto-foto liburan di cloud yang sama.

Kesimpulan: Kolonialisme Digital dan Masa Depan Privasi Global

Kolonialisme digital adalah bentuk penjajahan baru yang licik: kolonialisme data. Awan yang dulu berarti rahmat, kini berubah menjadi awan kapitalisme digital—gelap, pekat, dan penuh petir bisnis.

Bagi rakyat Palestina, ini bukan sekadar masalah teknologi, tapi soal hak asasi manusia yang dirampas. Doa, suara, dan percakapan pribadi mereka dijadikan bahan bakar algoritma. Dunia menyebutnya kemajuan, tapi bagi Palestina, ini adalah penjajahan awan.

Awan yang dulu berarti rahmat, kini jadi awan kapitalisme digital: gelap, pekat, dan penuh petir bisnis.

*) Ahmadie Thaha, Ma’had Tadabbur al-Qur’an.