Editor Indonesia, Kendari – Polda Sultra (Sulawesi Tenggara kembali diduga mengkriminalisasi enam warga yang menolak aktivitas tambang di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep).
Keenam warga tersebut adalah Nasrun, Yusman, Alimin, Aco, Datna, dan La Boba. Mereka dipanggil oleh penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Sultra untuk diperiksa atas tuduhan pengrusakan.
Kasus ini bermula dari laporan seorang warga bernama La Tende pada 1 Februari 2024. Hanya dua hari setelah laporan masuk, kasus tersebut langsung naik ke tahap penyidikan dengan nomor: SP.Sidik/219/II/RES.1.10/2025/Ditreskrimum.
Wakil Ketua DPRD Konkep Kecam Kriminalisasi Warga
Wakil Ketua DPRD Konkep, Sahidin, mengecam tindakan kepolisian yang dinilainya tidak adil. Menurutnya, polisi cenderung tajam terhadap rakyat kecil, namun tumpul terhadap penambang ilegal yang bertahun-tahun melakukan pelanggaran hukum.
“Polisi menutup mata terhadap aktivitas ilegal para penambang, tetapi justru cepat bertindak terhadap masyarakat yang berusaha mempertahankan wilayahnya,” ujar Sahidin dalam pesan WhatApps yang diterima redaksi, Rabu (12/2/2025)
Ia menjelaskan bahwa dugaan pengrusakan yang dilakukan warga terjadi saat mereka menolak masuknya karyawan PT Bumi Konawe Mining (BKM) ke Desa Sinar Mosolo. Aksi protes ini berujung pada pengusiran karyawan dan perusakan rumah warga yang dijadikan tempat menginap mereka.
“Ini adalah bentuk kekecewaan warga terhadap aparat yang membiarkan penambangan ilegal PT Gema Kreasi Perdana (GKP) di Wawonii bertahun-tahun,” tegasnya.
Sahidin juga mengungkapkan bahwa laporan dan demonstrasi warga kepada aparat penegak hukum, termasuk kepolisian, kejaksaan, dan Gakkum KLHK, tidak pernah ditindaklanjuti. Bahkan, PT BKM telah melakukan eksplorasi yang mencemari lingkungan di Desa Sinar Mosolo, Kecamatan Wawonii Tenggara.
“Polisi ini digaji dari uang rakyat, seharusnya melindungi hak-hak rakyat, bukan malah menjadi beking perusahaan tambang ilegal. Saya bertanya-tanya, apakah mereka juga mendapatkan keuntungan dari aktivitas tambang ini?” kata Sahidin.
Tambang Ilegal di Pulau Wawonii
Aktivitas pertambangan nikel PT GKP di Pulau Wawonii dinilai ilegal dan berpotensi mengarah pada tindak pidana korupsi. Pasalnya, perusahaan ini tidak memiliki dasar hukum yang sah untuk beroperasi.
Pada 7 Oktober 2024, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan warga dengan membatalkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) PT GKP seluas 707,10 hektare. Selain itu, warga juga memenangi dua gugatan uji materi terkait Perda RTRW Kabupaten Konkep:
1. Perkara nomor 57 P/HUM/2022 yang dikabulkan MA pada 22 Desember 2022.
2. Perkara nomor 14 P/HUM/2023 yang diputuskan pada 11 Juli 2023.
Kuasa hukum warga, Ady Anugrah Pratama, menegaskan bahwa dengan adanya putusan MA tersebut, seluruh alokasi ruang tambang di Wawonii menjadi batal.
Tak hanya itu, PT GKP juga gagal dalam uji materi Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K). Pada 21 Maret 2024, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan mereka dan menegaskan bahwa pulau kecil tidak boleh digunakan untuk pertambangan mineral.
Pulau Wawonii, yang memiliki luas 715 km², masuk dalam kategori pulau kecil berdasarkan UU No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Sesuai regulasi, pertambangan tidak diperbolehkan di pulau kecil dengan luas kurang dari 2.000 km².
“Dengan tiga putusan MA dan satu putusan MK yang menguatkan, PT GKP dan PT BKM telah kehilangan dasar hukum untuk beroperasi di Wawonii,” tegas Ady.
Ady juga menyoroti bahwa warga telah berulang kali memblokir akses dan membawa kasus ini ke pengadilan, membuktikan bahwa perusahaan telah kehilangan legitimasi sosialnya.
“Namun, meskipun telah kalah secara hukum dan sosial, GKP tetap nekat melanjutkan aktivitas pertambangan,” tambahnya.
Unsur Pidana dan Dugaan Korupsi
Menurut Ady, aktivitas PT GKP melanggar UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan serta UU No. 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara. Selain itu, tindakan mereka juga masuk dalam kategori tindak pidana korupsi karena mengeksploitasi sumber daya nikel di kawasan hutan tanpa izin, yang menyebabkan kerusakan lingkungan dan kerugian negara.
Berdasarkan citra satelit, telah terjadi pembukaan lahan seluas 501,7 hektare di Wawonii sepanjang 2024 hingga Februari 2025, khususnya di daerah Dompo-Dompo Jaya, area konsesi PT GKP.
Ady menegaskan bahwa putusan MA yang membatalkan IPPKH PT GKP bersifat mengikat dan harus dilaksanakan. Meskipun perusahaan mengajukan peninjauan kembali (PK), hal tersebut tidak dapat menangguhkan eksekusi pencabutan IPPKH sesuai Pasal 66 UU MA No. 14 Tahun 1985.
“Seharusnya pemerintah dan PT GKP menghormati putusan ini. Demi hukum dan keadilan, PT GKP harus menghentikan operasinya di Pulau Wawonii. Polda Sultra seharusnya menegakkan aturan hukum ,” pungkas Ady Anugrah Pratama. (RO/Har)