Nasional

Puan Maharani Dinilai Menentang Ideologi Partai, Ini Faktanya

×

Puan Maharani Dinilai Menentang Ideologi Partai, Ini Faktanya

Sebarkan artikel ini
Puan Maharani Dinilai Menentang Ideologi Partai, Ini Faktanya
Para pekerja rumah tangga (PRT) menagih Ketua DPR RI Puan Maharani mengesahkan RUU PPRT/dok. tangkapan youtube

Editor Indonesia, Jakarta – Puan Maharani, Ketua DPR RI, dinilai DPP Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Fanda Puspitasari bertentangan dengan ideologi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Sebab, Puan menyandera Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) agar disahkan menjadi UU. Menyandera RUU PPRT sama dengan memperpanjang barisan penindasan PRT sebagai kelas pekerja.

“Apa yang dilakukan Puan Maharani bertentangan dengan nilai-nilai Marhaenisme yang dianutnya sebagai ideologi partai. Bahwa marhaenisme yang memiliki makna orang-orang kecil itu dipresentasikan oleh PRT, mereka yang kemudian tidak mengalami perubahan nasib dan justru mengalami kekerasan dan berada dalam ombang-ambing ketidaksetaraan, karena RUU yang tidak kunjung disahkan itu masih berada di meja Puan dan belum pada progres yang signifikan,” ucap Fanda dengan tegas dalam konferensi pers bertema ‘Puan Menyandera Sarinah, Sahkan RUU PPRT’ di Jakarta, Senin (22/7/2024).

Dalam kesempatan itu, perwakilan Serikat PRT Yogyakarta, Jumiyem memaparkan bahwa situasi dan kekerasan terhadap PRT di Yogja tidak jauh berbeda dengan situasi kerja di Indonesia dan luar negeri pada umumnya yang kerap kali mengalami diskriminasi. Merea rentan mendapat kekerasan fisik, ekonomi dan psikis seperti pemukulan atau penyekapan hingga disiram air panas.

“Di Yogja beberapa waktu lalu, ada kasus PRT yang bekerja dengan salah satu majikan selama 10 tahun namun baru diketahui ternyata dia mengalami kekerasan selama bekerja yaitu disekap dan sering dipukul, kemudian dianiaya dan upah juga tidak dibayarkan, saat ini korban mengalami trauma. Kita bersama-sama telah melakukan pendampingan,” ujarnya.

Para PRT saat ini, ungkao Jumiyem, tidak jelas jam kerjanya karena sesuka majikannya. Umumnya PRT menjalani jam kerja yang sangat panjang dengan rata-rata 14 sampai 16 jam per hari. Namun dengan beban kerja yang panjang dan berat itu, mereka hanya diupahi dengan rata-rata Rp800 ribu sampai 1 juta perbulan, tidak memiliki hak cuti dan tunjangan hari raya.

“Ketika kami libur, pasti akan dipotong upahnya, dan kondisi ekonomi semakin terpuruk karena tidak mendapatkan jaminan kesehatan. Ketik kami sakit dan mengalami kecelakaan kerja, PRT harus berobat sendiri. Saya mewakili PRT, demi kemanusiaan dan keadilan sosial, kami meminta kepada pimpinan DPR, anggota DPR dan pemerintah untuk segera membahas dan mengesahkan RUU PPRT agar bisa menjadi perlindungan para pekerja,” katanya.

Kasus Kekerasan PRT

Direktur LBH Apik Jakarta, Uli Pangaribuan memaparkan selama 2024, pihaknya telah menerima 13 kasus laporan kekerasan terhadap PRT. Sayangnya pendampingan bagi PRT korban kekerasan sulit dilakukan. Sebab, ungkap Uli, aparat penegak hukum sering kali melakukan mediasi dengan pelaku (majikan) hingga adanya salah tafsir mengenai Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS)

“Kasus kekerasan yang ditimpa PRT masih sulit untuk diproses secara hukum dan ada kendala juga yang kami alami ketika melakukan pendampingan. Belum adanya pengakuan PRT sebagai pekerja juga menyebabkan perlindungan dan hak-haknya terabaikan begitu saja,” katanya.

Selain itu kata Uli, Stigma terhadap PRT yang dianggap sebagai budak dan layak untuk diperlakukan secara tidak manusiawi juga masih kuat. Hal itu kemudian berdampak secara psikis kepada korban, dan pemulihannya juga jarang dilakukan, bahkan korban yang seharusnya dapat restitusi seringkali dianggap sebagai uang damai oleh pelaku.

Dari perwakilan LBH APIK Semarang, Raden Rara mendata sejak 2016-2023 ada lebih dari 150 kasus kekerasan yang menimpa PRT. Berbagai kasus tersebut sering kali tidak mendapatkan litigasi hukum karena belum diatur dalam undang-undang sehingga pengesahan RUU PPRT sangat perlu untuk untuk perlindungan PRT.

“Pemulihan psikologis dan pemberdayaan ekonomi bagi PRT khususnya korban kekerasan ketika saat bekerja pun sangat belum diimplementasikan, mereka mengalami kekerasan berupa fisik bahkan seksual hingga berbulan-bulan tidak diberikan gaji. Sebagian PRT tersebut mengalami gangguan kesehatan, lumpuh dan bahkan meninggal dunia. Sampai sekarang negara belum hadir memberikan perlindungan,” jelasnya. (Jio)