Editor Indonesia, Jakarta – Skandal korupsi Pertamina diungkap Kejaksaan Agung, dan telah menangkap sembilan tersangka dalam kasus korupsi tersebut. Skandal korupsi Pertamina kali ini, dengan estimasi kerugian negara mencapai Rp 193 triliun pada tahun 2023.
Kasus ini memicu berbagai reaksi negatif di masyarakat, terutama di media sosial, yang tidak hanya mengkritik para tersangka tetapi juga Pertamina sebagai institusi. Bahkan, muncul ajakan untuk beralih ke produk lain sebagai bentuk protes.
Menanggapi hal ini, Jaksa Agung menegaskan bahwa BBM yang beredar saat ini sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Dampak Skandal terhadap Pertamina dan Pasar
Mantan Direktur Kilang Pertamina, Suroso A, dalam pernyataannya yang dikutip editorindonesia.com, Selasa (18/3/2025), mengungkapkan berbagai dampak dari kasus ini terhadap industri dan pasar energi.
“Momentum ini bisa dimanfaatkan oleh merek lain untuk memperluas pasar. Dampaknya akan terasa dalam jangka panjang,” ujar Suroso.
Lebih lanjut, ia menyoroti bahwa dugaan kerugian yang disebutkan bahkan mencapai Rp 1.000 triliun. Hal ini berpotensi menimbulkan kekhawatiran di kalangan pemegang obligasi dan investor asing.
“Kepercayaan investor dan pemberi pinjaman akan menurun. Ini akan membuat Pertamina kesulitan mencari pendanaan untuk operasional maupun pengembangan bisnis,” imbuhnya.
Isu ini mencuat bersamaan dengan rencana penerbitan laporan keuangan hasil audit independen, yang akan digunakan dalam rapat umum pemegang saham (RUPS) tahunan. Suroso menilai, laporan tersebut akan menjadi sorotan utama dalam pengambilan keputusan.
Potensi Dampak Hukum dan Keuangan
Suroso juga mengingatkan adanya risiko hukum jika dalam persidangan terbukti terjadi kecurangan.
“Jika terbukti ada penipuan, konsumen bisa mengajukan class action untuk menuntut ganti rugi. Bahkan, jika ditemukan pemalsuan barang, Pertamina bisa menghadapi ancaman penutupan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,” jelasnya.
Investor pun akan mempertimbangkan risiko yang akan dihadapi Pertamina sebelum menentukan sikap mereka. Menurut Suroso, perusahaan ini sangat bergantung pada pendanaan global, baik dari perbankan maupun investor.
“Dalam perdagangan minyak mentah dan BBM, Pertamina membutuhkan Letter of Credit (LC), di mana kredibilitas perusahaan menjadi faktor utama dalam mendapatkan pendanaan,” tambahnya.
Ketidakpastian dan Ancaman Kelangkaan BBM
Lebih lanjut, Suroso menyoroti dampak psikologis terhadap para pejabat yang menangani pembelian BBM.
“Jika terbukti ada kesalahan, pejabat yang baru pasti akan mengambil langkah yang lebih hati-hati. Namun, jika mereka merasa telah menjalankan prosedur yang benar, tuduhan ini bisa menimbulkan ketakutan mendalam karena Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor tidak hanya berlaku untuk keuntungan pribadi, tetapi juga keuntungan bagi pihak lain,” ungkapnya.
Suroso menekankan pentingnya klarifikasi dan pembaruan tata kelola agar pengadaan BBM tidak mengalami keterlambatan. Jika pembelian terlambat, harga akan semakin mahal dan risiko pasokan semakin tinggi.
“Pernah terjadi kelangkaan BBM pada tahun 2003 hingga pemerintah harus meminta bantuan Malaysia untuk memasok BBM. Semoga kali ini tidak terjadi kelangkaan akibat keterlambatan impor,” pungkasnya. (Didi)