Editor Indonesia, Jakarta – Praktisi pendidikan dari Pusat Kajian Kesehatan Lingkungan Dan Industri, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Bambang Wispriyono menjelaskan, terdapat beragam jenis pencemaran udara yang bisa membahayakan kesehatan manusia, khususnya bagian pernapasan.
Risiko pencemaran udara karena ada bahan-bahan polusi yang dikandung oleh udara bisa terjadi karena dua hal. Pertama karena proses alami yang tidak bisa dihindari. Kedua, karena sifat manusia yang akhirnya membuat kondisi lingkungan berubah, ditambah lagi dengan pembangunan aspek bisnis, ekonomi yang menyebabkan peningkatan mobilitas manusia sangat tinggi.
“Tidak ada adaptasi dan mitigasi yang semakin berbahaya. Kemudian pemerintah berperan aktif memainkan peran kunci dalam mengendalinkan proses-proses berpotensi hazard di lingkungan,” jelas Bambang, dalam webinar ILUNI, Sabtu (23/9/2023).
Sumber emisi, jelas Bambang, bisa berasal dari alam seperti kebakaran hutan, letusan gunung berapi hingga badai debu. Kemudian sumber emisi juga bisa berasal dari antropogenik seperti transportasi, industri, produk energi, pertenian/peternakan, bahan bakar fosil atau biomas, dan kebocoan gas.
Ukuran debu yang harus diwaspadai, lanjut dia, adalah Particulate Matter (PM) di bawah 10 atau partikel udara yang berukuran lebih kecil 2.5 µm (mikrometer) atau yang sering disebut PM 2.5. Sehingga bisa masuk ke saluran pernapasan.
Sementara untuk bentuk polusi udara, bisa berupa gas yang terdiri dari So2, NO2, ozon dan lainnya; kemudian gas seperti PB, Cd, Hg; PAH & Solvent seperti benzena, toluen,xylene, formaldehid dan sebagainya.
“PAH dan solvent merupakan bahan-bahan karena aktivitas industri dan bahan bakar transportasi yang digunakan menjadi residu keluar ke udara seperti benzen atau toluen,” ungkap dia.
Sekitar 4 juta orang meninggal pada 2019 akibat paparan polusi udara luar ruangan partikular halus dengan tingkat kematian tertinggi yang terjadi di Asia Timur dan Eropa Tengah. Presentasi kematian dari setiap penyakit akibat udara luar ruangan antara lain stroke 13%, penyakit jantung iskemik 12%, penyakit paru obstruktif kronis 12%, trakea bronkus dan kanker paru-paru 11%, diabetes tipe 2 11%, infeksi saluran pernapasan sebagian bawah 9%, dan gangguan neonatus 5%.
“Kemudian orang yang berisiko yang dalam artian karena kondisinya, seperti ibu hamil, anak-anak balita. Keduanya sedang dalam masa pertumbuhan. Kemudian orang lanjut usia, dimana metabolismenya sudah mulai mengalami penurunannya, juga orang-orang dewasa yang punya riwayat penyakit,” jelasnya.
Dengan kondisi tersebut, menurut Bambang, maka perlu pembenahan pengaturan dan penurunan polusi udara. Pengendalian emisi dan pengurangan risiko bisa melalui regulasi atau kebijakan, teknologi, sosialisasi, alat.
“Kemudian bisa juga dengan upaya preventif promotif dan kuratif dengan tatalaksana Perilaku hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Ingat, PHBS bukan hanya mencuci tangan saja tetapi juga dengan memakai masker, konsumsi bahan alami, suplemen, juga olahraga dengan kualitas udara yang baik,” tutupnya. (Didi)